Jumat, 12 Mei 2023

Seruan dari Bandung

oleh Atep Kurnia


Ketika masih kuliah dan harus menyusun skripsi, saya sudah menyiapkan dua materi. Pilihan saya kalau tidak mengkaji cerpen “The Murders in the Rue Morgue” (1841) karya pengarang Amerika Edgar Allan Poe (1809-1849), saya akan meneliti catatan perjalanan sastrawan Afro-Amerika Richard Wright yang berjudul The Color Curtain: A Report on the Bandung Conference (CC, 1956).

            Kedua pilihan itu dilatarbelakangi kedekatannya dengan kehidupan saya di Bandung khususnya, dan Indonesia umumnya. Karena cerpen Edgar itu bercerita tentang orang utan dari Kalimantan yang melakukan pembunuhan berantai. Apalagi karya Richard yang mengetengahkan Konferensi Asia-Afrika (KAA) pada 18-22 April 1955 di Gedung Merdeka, Bandung.

            Akhirnya pilihan saya jatuh pada karya Richard. Namun, muncul masalah. Buku yang hendak saya kaji tidak tersedia di kampus, karena dosen yang memperkenalkan saya pada buku itu tengah meneruskan studi pascasarjana di Yogyakarta. Untung, teman saya dari Australia bersedia mengopi buku itu. Akhirnya ketika dia berkunjung ke Bandung, saya diberi kopian CC, biografi Richard, dan beberapa buku lainnya. Alhamdulillah.

         Buku setebal 245 halaman yang dikasih pendahuluan Gunnar Myrdal dan diberi penu-tup Amritjit Singh itu diterbitkan oleh Dennis Dobson, Ltd dan World Publishers pada tahun 1956. Di dalam buku ini pengarang kelahiran Mississipi, Amerika Serikat, itu membeberkan alasan, persiapan, proses perjalanan, laporan pandangan mata ketika meliput KAA, disertai refleksinya di sana-sini.

       Saat tersiar kabar penyelenggaraan KAA, ia sedang berada di Paris, tempat eksilnya sejak 1946. Saat itu Desember 1954, ia tengah rehat, karena sedang sibuk mempersiapkan buku mengenai Spanyol yang mengharuskannya melakukan perjalanan ke negeri Matador itu dua kali, yaitu antara 15 Agustus-10 September 1954 dan 8 November-17 Desember 1954. Ia tengah rehat untuk memulai kembali kunjungan ke Spanyol yang ketiga kalinya, antara 20 Februari-10 April 1955, saat ia membaca rencana penyelenggaraan KAA (Virgiana W. Smith, “Richard Wright’s Passage to Indonesia,” 2006: 84).

        Saat ia membuka-buka koran sore di apartemennya, Richard tersentak dengan kabar KAA. Kepada istri keduanya Ellen Poplar yang dinikahinya pada 1941, ia menyatakan keinginanannya untuk pergi ke Bandung dan membuat laporannya. Kepada Ellen Poplar ia menyatakan alasan kepergiannya:

 

“Aku rasa hidupku memberiku kata kunci atas apa yang hendak dikatakan dan dilakukan para peserta KAA. Aku Negro Amerika dan merasakan beban kesadaran ras. Begitupun mereka. Saat muda aku bekerja sebagai pekerja pabrik, sehingga aku mempunyai kesadaran kelas. Begitupun mereka. Aku tumbuh dalam bayang-bayang gereja Metodis dan Seventh Day Adventist. Kulihat dan alami agama sewaktu kecil. Mereka pun orang beragama. Selama 20 tahun aku pernah menjadi anggota Partai Komunis dan aku tahu politik dan psikologi perlawanan. Mereka pun menjadikannya sebagai kenyataan sehari-hari. Perasaan ini adalah alat-alatku. Mereka punya emosi dan aku sadar mengenai emosi ini. Aku ingin menggunakannya untuk mencari tahu yang dipikirkan, dirasakan, dan alasannya” (CC, 1994: 15).

 

     Sebelum pergi dan tiba di perhelatan 29 bangsa itu, Richard mengumpulkan tanggapan orang atas KAA melalui obrolan, wawancara, dan menyebarkan angket. Dia berbincang dengan orang Perancis, Amerika, Spanyol, wartawan Belanda kelahiran Indonesia, wartawati kelahiran Singapura berayah India-Muslim dan ibunya Irlandia-Katolik, orang Asia yang lebih Barat ketimbang Barat, pemuda Indonesia berumur 20-an, dan wartawan dari Pakistan.

       Pada tanggal 10 April 1955 dari Madrid, Richard menggunakan pesawat TWA ke Roma disambung menumpang pesawat KLM ke Kairo. Tanggal 12 April 1955 sore, Richard Wright tiba di Jakarta. Ia disambut para pengurus PEN Club Indonesia dan dijemput oleh Mochtar Lubis, sastrawan dan redaktur harian Indonesia Raya. Selama di Jakarta antara 12-17 April, Richard tinggal di rumah Mochtar di daerah Tugu dan sisanya di rumah Mr. P, bekas tentara yang kemudian menjadi insinyur perminyakan. Selama di Jakarta pula, Mochtar mempertemukan Richard dengan Sutan Sjahrir dan Moh. Natsir.

        Memasuki minggu kedua, Richard pergi ke Bandung diantar oleh Mochtar. Mula-mula Mochtar menawa-rinya untuk pergi ke Lembang, menyaksikan Kawah Tangkubanparahu, tapi Richard tidak mau. Ia hendak buru-buru menyaksikan KAA. Selama di Bandung, ia menginap di Hotel van Hengel (Kini, Hotel Panghegar) antara 17-25 April. Dari pembukaan dan penutupan KAA, Richard senantiasa hadir dan menulis laporannya. Ia melaporkan pidato Presiden Sukarno dan para peserta KAA lainnya, berikut kutipan-kutipan pidatonya.

      Dari perjalanan tiga minggu dan dituangkan dalam CC, Richard banyak menyatakan dirinya sendiri, beri-kut kiblat pandangannya. Dalam konteks KAA, dia mendukung sekali kemerdekaan bangsa Asia-Afrika dari belenggu dominasi Barat.

Saat membaca koran berisi warta KAA, dia berseru, “Ya Tuhan! Aku mulai dengan cepat menghitung jumlah daftar bangsa peserta pertemuan. Ketika sampai bilangan miliar, aku berhenti, menurunkan kacamata, dan berpikir sejenak. Arus kesadaran mengharu biru benakku: mereka ini adalah masyarakat yang pernah dijajah dan disebut oleh orang kulit putih sebagai ‘bangsa berwarna’ ... hampir semuanya bangsa yang sangat religius. Ini adalah pertemuan hampir semua ras manusia yang hidup di jantung geopolitik bumi” (CC, 1994: 11-12).

      Sementara para peserta KAA digambarkannya sebagai, “Orang yang dianggap hina, dinistakan, dilukai, dirampas haknya. Pendeknya, orang-orang tertindas itu berkumpul. Ini adalah bangkitnya kesadaran kelas, ras, dan agama di tingkat global. ... Pertemuan orang-orang tersisih ini bisa menjadi semacam penghakiman terhadap dunia Barat!” (CC, 1994: 12).

     Namun, Richard pun tidak terlepas dari penilaian-penilaian negatif terhadap Timur, khususnya Indonesia. Saat datang ke Jakarta dan Bandung, dia menyaksikan berbagai hal yang buruk. Dalam pandangannya, ketika kaum penjajah meninggalkan Indonesia, maka tata tertib (rust en orde) yang dibikin Belanda dirusak warga negara baru. Jadi, yang ditemukannya adalah kekacauan dan ketidakefisienan. Di sisi lain, dia menyatakan bahwa Indonesia di bawah kendali Belanda berjalan sebagaimana mestinya (CC, 92, 94, 96, 97, 104, 107, 116, 117).

     Namun, yang paling menyesakkan, dia menganggap negara baru merdeka dari penjajahan Barat diang-gapnya “anak-anak” yang masih membutuhkan bantuan orang tua atau orang dewasa. Katanya, “Indonesia telah merebut kekuasaan dari Belanda, tapi tidak tahu harus bagaimana menggunakan kekuasaan itu (CC, 132).

Dan dalam konteks KAA, dia menyatakan nada yang sama: “Bandung bukanlah arena politik Kiri dan Kanan; ia bukan hanya episode kecil dalam Perang Dingin; ia bukanlah pertemuan Blok Komunis. Perebutan kekuasaan tidak ada dalam agendanya; Bandung tidak berminat pada perebutan kekuasaan. SEMUA ORANG YANG HADIR DI SANA MEWAKILI PEMERINTAHAN YANG TELAH MEREBUT KEKUASAAN TAPI MEREKA TIDAK TAHU HARUS BAGAIMANA UNTUK MENGISINYA” (CC, 207).

        Tidak heran kesimpulan dan saran yang disodorkan Richard dalam hubungannya deng-an KAA adalah harus ditambahnya kadar keterlibatan Barat untuk “mendewasakan Timur-sebagai anak kecil”. Karena tetap saja di mata Richard, Timur membutuhkan bantuan Barat. Katanya, “PENDEKNYA, BANDUNG ADALAH SERUAN AKHIR ORANG ASIA TERBARATKAN YANG MENGETUK KESADARAN MORAL ORANG BARAT!” (CC, 202). Oleh karena itu, menurutnya, “ ... orang Barat, menurut saya, mesti berbesar hati, bermurah hati, menerima dan memahami kegetiran yang dialami orang Timur” (CC, 202).

        Setelah meliput KAA, Richard kembali lagi ke Jakarta dan tinggal di rumah Mochtar dan Mr. P antara 25 April-5 Mei. Maksudnya untuk lebih mendalami seraya mengumpulkan bahan-bahan tulisan mengenai Indonesia. Di antara waktu itu, ia diminta para penggiat sastra dan seni Indonesia untuk memberikan ceramah. Waktu itu ia menulis “Negro Literature and Industrialization” (Smith, 2006: 102).

Kemudian menurut Smith (2006: 104), meski tidak menyebutkan pesawat untuk pulang ke Paris, tapi catatan Richard (“Notes on Bandung”) mengindikasikan bahwa dia menumpang pesawat Willem Ruys ke Naples pada 5 Mei, dari sana baru dia ke Paris.

 

*Penulis, lulusan Bahasa dan Sastra Inggris UIN Sunan Gunung Djati dengan skripsi berjudul The Repres-entation of Double Consciousness in Richard Wright’s The Color Curtain (2012). Kini aktif sebagai peneliti literasi di Pusat Studi Sunda (PSS) dan anggota dewan redaksi majalah geologi populer Geomagz.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar