Jumat, 12 Mei 2023

Atasi Depresi dengan Berbuat Baik

AKHIR-AKHIR ini istilah “depresi” menjadi kian sering dibicarakan, baik di lingkungan terdekat kampung kita maupun di tingkat nasional. Bahkan ada peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia yang disponsori World Health Organization (WHO) atau Organisasi Kesehatan Dunia. Tujuan mereka memperingati hari kesehatan jiwa yaitu untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga kesehatan jiwa, bukan hanya raga.

Depresi adalah suatu keadaan di mana kondisi jiwa mengalami tekanan yang hebat. Keadaan jiwa seseorang selalu dipenuhi rasa kecewa, sedih, menyesal, ingin mengakhiri hidup, marah yang terpendam, dan keadaan psikologi tidak menyenangkan lainnya.

Depresi adalah tingkat lebih parah dari stres. Oleh karena itu, untuk menghindari depresi secara dini yaitu dengan mengatasi stres terlebih dahulu.

Manusia sebenarnya mempunyai cara masing-masing untuk mengatasi stres. Ada yang menyalurkan stres dengan cara yang positif maupun negatif. Penyaluran stres dengan cara positif antara lain bisa dilakukan dengan beribadah, bernyanyi, menari, melukis, membaca buku, menggambar, dan segudang aktivitas positif lainnya.

Biasanya, aktivitas seni memang lebih baik karena seni adalah cerminan kehalusan jiwa seseorang. Banyak orang di dunia ini yang berhasil menyalurkan rasa stres yang dideritanya dengan cara positif dan bahkan meraih prestasi.  

Ada pula yang menunjukkan perilaku negatif karena tidak mampu mengatasi stres. Dari mulai mabuk-mabukan, mengonsumsi narkotika dan obat-obatan terlarang, berperilaku seksual menyimpang, kebut-kebutan di jalan raya sehingga menimbulkan kebisingan, berkelahi, dan lainnya. Jika manusia sudah terjebak dengan perilaku negatif seperti ini, maka tak jarang yang terjebak dalam dunia kriminal.

Pengelolaan stres dapat dilatih sejak usia dini dari mulai pendidikan dalam keluarga. Perlakuan orangtua terhadap anak-anak berpengaruh besar dalam membentuk kemampuan seorang anak mengatasi stres hingga ia dewasa kelak. 

Didik anak dengan penuh welas asih, tanpa kekerasan dan tanpa bahasa yang kasar. Tegur anak jika melakukan kesalahan secara tidak berlebihan. Jangan sampai membuat dia merasa tidak berharga yang ujungnya ia akan merasa tidak percaya diri.

Jika tidak dicegah sedari dini, perilaku stres dapat menular dan menjadi dianggap umum dan lumrah. Masyarakat yang depresi ditandai dengan sikap membiarkan terhadap perilaku negatif, penuh dengan kata-kata kasar dan perilaku kekerasan, buntu pikiran, dan gampang marah atau tersulut emosinya.

Perilaku depresi yang tadinya terjadi pada individu atau perorangan, dapat menjadi depresi secara massal. Hal ini sangat mengerikan jika terus didiamkan. Siapapun kita, baik yang kini masih menjadi siswa sekolah atau sudah menjadi orangtua dan dewasa, sepatutnya lah menjaga kesehatan jiwa dimulai dengan hal-hal terkecil di sekitar kita.

Tersenyumlah dan penuh welas asih, sabar dalam menghadapi cobaan, hindari perilaku kasar dan kekerasan, hindari minuman beralkohol, hindari narkotika dan obat-obatan, hentikan perilaku seksual yang menyimpang, hentikan membuang sampah sembarangan, tengok tetangga yang sedang sakit, serta bantu dan hargai orangtua dan anak-anak kecil di sekitar kita. Insya Allah dengan berbuat baik justru kita tengah melakukan terapi atas potensi serangan stres yang bertubi-tubi. **

Mengenal Tuhan Melalui Bacaan Sastra

oleh Indra Prayana


Dalam budaya literasi, kemampuan mengembangkan dan menganyam kata-kata sehingga menjadi sebuah karya tulis atau buku masuk ke dalam kreativitas. Seliar apapun ide gagasan, ia tetap masuk dalam wilayah kreatif karena tidak ada hukum yang melarang seseorang untuk berpikiran begini atau begitu, kanan atau kiri, tekstual atau konstektual. Termasuk juga dalam mempersonifikasikan tuhan (“t”dengan huruf kecil) khususnya dalam Banyak karya sastra berupa novel, puisi atau cerpen dengan latar belakang alam ghaib, setan, tuhan, surga dan neraka yang pada umumnya menimbulkan kontroversi dan bersifat nyeleneh karena berseberangan dengan mainstream besar religiusitas.

Membuat karya sastra yang bersentuhan dengan sifat-sifat tuhan tentu tidak serta merta dapat diterjemahkan secara literal, mengingat banyaknya kaidah metafor yang tersembunyi, karena pada dasarnya sastra itu imajinasi olah pikir yang berasal dari berbagai sumber, antara fakta dan khayal.

Pada cerpen lokal legendaris “Robohnya Surau Kami”[1] misalnya, bagaimana A.A.Navis mempermainkan tuhan dengan percakapan konyolnya dalam menanggapi “unjuk rasa” pimpinan Haji Soleh yang mempersoalkan kenapa ia berserta kawan-kawannya dimasukkan ke dalam neraka padahal sewaktu hidupnya di dunia hanya diabdikan untuk menyembah tuhan. Cerpen ini sebenarnya sedang mencoba mempersoalkan realitas yang ditransferkan ke dalam alam khayal.

Atau pada cerpen “Langit Makin Mendung” karya Kipandjikusmin yang memperolok-olok perintah tuhan dan keluhan Nabi Muhammad yang ingin keluar dari surga karena sudah merasa bosan. Cerpen ini sangat agresif dan provokatif yang membuat H. B. Jassin sebagai pemimpin redaksi majalah Sastra, sempat menjadi pesakitan karena memuat cerpen itu di edisi bulan Agustus tahun 1968 (meski tidak sedikit pula yang memuji langkahnya karena konsisten dalam melindungi dan merahasiakan nara sumber/ Kipandjikusmin). 

Lain lagi dengan cerpen impor “Surat Buat Tuhan” Gregorio Lopez Fuentez yang melawan korupsi dengan satir religious. Dalam cerita tersebut, bagaimana sosok tokoh seorang petani bernama Lencho didera kemiskinan dan berharap lepas dari jerat kesusahan hidup itu dengan cara mengirim surat kepada tuhan untuk bisa membantunya. Petugas pos kebingungan mencari alamat tuhan. Dan atas inisiatif kepala posnya, surat Lencho tersebut dikembalikan sembari diisi sejumlah uang iuran pegawai pos untuk sedikit membantunya. Maka ketika Lencho membuka uang tersebut, ia bukannya bersyukur namun malah memaki-maki pegawai pos itu lantaran uang yang diminta kepada tuhan tidak sesuai dengan yang diterimanya: “tuhan tidak mungkin korupsi”, teriaknya.

Berbeda lagi dengan “Tuhan Melihat Kebenaran itu tetapi Ia menunggu”. Cerpen karya Leo Tolstoy yang menempatkan tuhan sedikit optimis sebagai penguasa takdir manusia. Diceritakan adalah Ivan Aksionov, seorang suami yang difitnah telah melakukan pembunuhan, sampai istrinya sendiri percaya bahwa suaminya itu telah melakukan pembunuhan dan dihukum selama puluhan tahun. Sampai di akhir penghujung tuanya, Ivan dibebaskan karena terbukti tidak bersalah, kebenaran muncul dan pelaku yang sebenarnya diketahui. Tolstoy seperti sedang mengapresiasi terjemahan ayat Al-Quran kedalam deskripsi alur cerita yang menawan. Boleh jadi kamu menyangka itu baik buat kamu padahal itu tidak baik untukmu dan boleh jadi kamu menyangka tidak baik padahal itu baik untukmu, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu sedangkan kamu tidak”. Mungkin benar pada awalnya kita tidak menyadari akan kesalahan kita tetapi Tuhan Maha Melihat, karena terkadang manusia tidak bisa memahami hikmah yang tersembunyi di dalam setiap penggalan hidup.

Dalam setiap cerita sosio-religiusitas seperti di atas biasanya terdapat ciri-ciri umum. Pertama, alur cerita biasanya sederhana tidak menggunakan bahasa-bahasa yang berat dan melangit sehingga dapat dicerna pembaca secara cepat. Kedua, cerita tidak bertele-tele, fokus pada maksud atau pesan yang hendak disampaikan tanpa banyak metafor pada setiap penggalan kalimat dan alur ceritanya. Ketiga, alur cerita bersifat parodi dan menggelikan untuk menertawakan diri sendiri atau lingkungan yang keluar dari pakem kebiasaan, dan yang keempat, biasanya cerita mengandung satir/sindiran terhadap kondisi keagamaan dan sosial kemasyarakatan.          

Pada karya-karya yang lain, menarik sebenarnya membaca karya-karya Al-Hallaj, Syekh Siti Jenar, Jean Paul Sartre, Divine Comedy  Dante atau mungkin Satanic Verses-nya Salman Rusdhie, sebagai bahan perbandingan sejauh mana sebenarnya manusia dapat menyentuh sesuatu yang “sakral”. Benturan nilai religius dalam kerangka fakta dan khayal ini selalu menjadi perhatian karena sulitnya kontrol serta banyaknya tafsir yang berbicara.

 

Indra Prayana, Penulis adalah pegiat buku, pernah mendirikan komunitas kajian buku dan diskusi “LESTARI” (Lembaga Studi Analisa & Informasi). Tulisan-tulisannya pernah dimuat  di antaranya di Pikiran Rakyat dan Tribun Jabar. Kini sebagai koordinator di JBA (Jaringan Buku Alternatif). Email : indrabuku@gmail.com.

Penulis saat ini sedang membaca buku Tragedi Gadis Paris van Java, karya van Dourt (Penerbit Edelwis), dan buku-buku tentang Paguyuban Pasundan.



[1] Buku klasik Robohnja Surau Kami, terbitan N.V. Nusantara Bukittinggi cetakan tahun 1961. Buku ini beberapa kali cetak ulang sampai saat ini. Sumber: kampungindian.blogspot.com

 


Mendadak jadi Kutu Buku, Bersama Klub Baca, dalam Komunitas, pada Ruang Publik yang Jarang Dilirik

 oleh Adew Habtsa

 


Stempel pangedulan alias bermalas-malasan telah tertera di kepala ini. Semenjak saya duduk di bangku sekolah dasar, sampai bereslah kuliah, memperlakukan buku hanya sekedar memenuhi tugas guru di sekolah atau di kampus, itu pun kalau sempat, jika tidak, melihat kawan hasil kerja kawan (baca: mencontek) adalah jalan pintas yang paling menegangkan dan mencengangkan. Jikalau hari ini saya berkacamata tebal, itu bukan pertanda mutlak orang yang rajin membaca buku, meski hampir para penggila buku itu berkacamata minus, sebab kacamata adalah indikator seseorang rusak matanya lantaran banyak faktor, sebagai misal, kurang makan vitamin A atau menonton film dan main game yang kelewat batas, seperti yang sering saya lakukan di masa lampau.

Sudahlah, itu fragmen kanak-kanak saya, dan semua orang remaja dan dewasa hari ini, pasti mengalami fase itu, ada yang rajin belajar siang dan malam, ada juga anak-anak yang malas taktertolongkan lagi, hingga kenakalanlah yang tertampakkan selalu. Bila menjenguk episode masalalu, boro-boro memahami bagaimana manfaat sebuah buku dan pentingnya belajar yang tekun, rayuan untuk bermain dan bermain lagi dan terus bermain-main dengan aneka permainan, berkumpul dengan bocah-bocah satu angkatan, lebih kuat mendesak diri ini, sampai lepaslah tekad belajar seperti yang sering diujarkan oleh guru-guru di sekolah dan kedua orang tua beserta saudara-saudara yang hirau lainnya. Memang saya memilliki cita-cita, itu pun ingin menjadi pemain sepak bola, sampai-sampai jika petang datang, bergegaslah menuju lapangan sepakbola, seadanya perlengkapan, masih berseragam sekolah, sesukanya mengisi waktu, dengan rasakan keseruan juga keasyikan yang sulit digambarkan bersama kawan lainnya.

Walau memang orang tua, yakni ayah saya adalah sosok pendidik pada sebuah sekolah dasar yang tiap sepekan sekali, selalu membawa buku, majalah dan koran, yang barangkali didapat dengan memotong gaji bulanannya, lalu dengan agak memaksa, bahwa tiap sekolah hendaknya berlangganan media itu, tapi ambil sisi positifnya saja, dari buku, majalah dan koran-koran itu, saya sudah mulai melihat-melihat judul buku dan desain jilidnya yang menarik, membolak-balikan koran, membaca cerita lucu dan juga gambar-gambar karikatur yang terpampang di majalah itu. Lumayan. Hanya bisa sampai itu saja. Setelah itu, bergegas lagi menuju keramaian, keceriaan permainan, kembali bermain-bermain di lapangan itu, di sawah itu, di kolam itu, di sungai itu, berburu capung, belalang, ikan-ikan, dan bermain bola lagi.

Masa berganti. Waktu berubah. Teman-teman pun bertambah. Satu per satu membawa tabiat yang unik dan menarik. Lingkaran pertemanan pun memengaruhi saya untuk mulai memahami konsep diri dalam percaturan lingkungan masyarakat terdekat, sekampung, lebih jauh sebangsa dan senegara. Tiba-tiba saya merasa bahwa saya harus berguna, kendati cita-cita jadi pemain sepakbola kandas juga. Mungkin saya tidak konsisten, atau takserius untuk menapaki  jalur itu, padahal dari sepakbola bisa memperbaiki nasib diri sekaligus memperbaiki nasib bangsa di mata dunia internasional dengan prestasi yang baik, tentu saja.

Bebas dari perkuliahan, satu komunitas menulis saya jejaki, tiba-tiba saja saya ingin jadi Penulis, bukan karena, susahnya mencari lapangan pekerjaan, apalagi persaingan angkatan kerja taksebanding dengan lapangan pekerjaan itu sendiri, barangkali ada yang keliru, kita malah tercipta untuk bekerja pada satu departemen sesuai dengan jurusan yang kita geluti, sebagai contoh, alumni Fakultas Pertanian, harus bekerja di Departemen Pertanian, dan seterusnya. Padahal taksemestinya selalu begitu, bukan?  Walau kadang-kadang saya juga mengirimkan surat lamaran pekerjaan pada satu lembaga dan instansi tertentu, tapi taksemuanya berjalan mulus dan diterima dengan baik. Beberapa jenis pekerjaan pernah dilakukan, dari Sales Kompor Gas, Surveyor, sampai menjadi Guru sebuah sekolah swasta yang sangat bersahaja. Asyik dan menyenangkan, melelahkan raga, namanya juga bekerja.

Entahlah mungkin saya melihat dan mendengar, kisah para penulis yang sukses, mendapatkan keuntungan finansial yang luar biasa besarnya, tertegun melihat mereka bisa membuat novel, cerpen dan puisi, pastinya terampil sekali dalam mengembangkan tema  yang menarik dan sangat menginspirasi khalayak banyak. Takusah saya sebut para penulis yang mengilhami itu, takut mereka jadi sombong dan merasa diri hebat. Biarkan saja mengalir, apa adanya. Pilihan memasuki Komunitas kepenulisan Forum Lingkar Pena (FLP), di kota kelahiran saya, FLP Bandung, bermarkas di Kompleks Masjid Salman ITB, taktertahankan lagi.

 Dari tempat dan komunitas ini saya mempelajari banyak hal, terutama dari hembusan semangat para Pengurus yang selalu mengobarkan betapa membaca menjadi langkah awal untuk memasuki dunia kepenulisan. Mulailah buku-buku saya baca, sedikit demi sedikit, berangur-angsur, taksekaligus, ternyata belum kuat staminanya. Mulailah beragam bacaan dicerna, dari buku-buku kesusasteraan: cerpen, puisi, esei hingga kajian filsafat dan keagamaan terus dibaca, perlahan-lahan, sembari terus belajar menulis puisi dan atau yang seperti puisi. Bagaimana saya tidak akan membaca buku, atau menghindar  dari buku, yang jelas itu bukan penyelesaian yang baik, setiap kali pertemuan, selalu ditanya tentang buku yang sedang dan sudah dibaca, ditulis pada setiap lembaran daftar hadir. Atau dalam pertemuan khusus, sesekali diminta para pementor untuk menceritakan buku yang sedang baca, malu jadinya, tiba-tiba muncul rasa gengsi, bila takmampu menceritakan isi buku itu. Dengan terkondisikan seperti ini, mau takmau haruslah membaca, minimal satu buku besar seminggu sekali, terserah topik bukunya seperti apa.

Komunitas FLP, khususnya yang berada di Bandung, merupakan kumpulan orang-orang yang bersiteguh untuk belajar menulis dan nyaman untuk beraktivitas di luar medan kepenulisan, hingga keinginan saya untuk membuat lirik lagu pun dapat terakomodasi dengan baik. Diam-diam saya pun mencoba memusikalisasi puisi dari beberapa penyair yang sudah tersohor karya-karyanya, yang saya baca dari buku antologi puisi mereka, yang saya beli atau pinjam dari kawan. Tentang proses kreatif saya dalam bermusik dan menggubah puisi menjadi komposisi lagu, ini butuh ruang khusus. Intinya, hasrat belajar dan keingintahuan yang meletup-letup coba dijaga, meski nanti pelan-pelan, dibuat tenang dan menyenangkan segalanya.

Lantas ada kebutuhan lain rupa-rupanya, ingin menambah jaringan pertemanan, butuh penghargaan dari yang lain juga atas karya tulis sastra yang dibuat, berharap wawasan pengetahuan bertambah dengan berguru pada sastrawan yang lebih menggelegar semangat hidupnya beserta pengalaman estetikanya yang membanggakan, sehingga karya-karya kita pun dapat membahana, tidak hanya dikenal di komunitas itu-itu saja. Saya dan beberapa teman satu minat tentunya, mulai mendatangi ruang-ruang publik yang menghadirkan diskusi-diskusi menarik, kajian-kajian pemikiran, seperti kuliah umum, terbuka untuk siapa saja, dan pastinya mencari yang gratis, untuk sama-sama hadir, mengikuti rangkaian acara, terutama pemaparan yang disampaikan para ahli, berkenaaan sastra dan apapun yang melingkupinya.

Salah satu tempat publik yang kerap saya datangi adalah Gedung Indonesia Menggugat  (GIM), seperti diketahui, asal tempat itu merupakan gedung pengadilan zaman Hindia Belanda, satu tempat tatkala Soekarno muda beserta kawan-kawan seperjuangannya lancarkan pledoi untuk menjelaskan bahwa kolonialisme layak digugat, karena telah menyengsarakan semesta raya nusantara. Dari tempat itu pula saya bertemu dengan komunitas Majelis Sastra Bandung (MSB), yang juga fokus pada pengembangan ruang sastra, dan semangat saya untuk membaca yang kadang-kadang redup, bisa bangkit lagi. Di dalam program MSB ada kegiatan rutin yang tentu saja mendatangkan pembahas atau pemateri yang berkualitas, hal ini menandakan bahwa mereka adalah pembaca yang baik, pelahap segala ilmu pengetahuan, bertutur dengan runut,  wajar kalau  pemparannya sangat enak dan memuaskan.

Dan kini saya memasuki Museum Konperensi Asia Afrika (MKAA), sang Saudagar Buku dari Bojongkaler, Deni Rachman, mengajak saya untuk berkecimpung pada kegiatan di dalamnya. Sampai tercetuslah ide untuk membuat sebuah klub buku, keren terdengar, keinggris-inggrisan, maklum berada di museum berkelas internasional, Asian African Reading Club namanya, singkat saja AARC. Bermula dari lingkaran kecil, yang hadir terhitung jari, berasal dari pusparagam latar-belakang sosial.  Ada benarnya kata seorang sahabat, bahwa para pembaca adalah kaum minoritas, sedikit sekali jumlah para pembaca.

 Barangkali kita juga pernah mendengar berkaitan dengan kondisi buruk daya baca satu masyarakat kita, ditambah juga menurunnya daya beli terhadap aneka bacaan, termasuk buku, bila dibandingkan dengan negara tetangga lainnya, masih jauh tertinggal. Apatah lagi menanyakan jumlah buku yang diproduksi satu tahun oleh satu negara, teramat miris. Hasrat membaca juga sudah megap-megap, apalagi nanti bila akan membidik gairah menulis, yang kembang-kempis itu. Terkalahkan segalanya oleh animo yang kuat untuk membeli televisi, gadget, dan media elektronika lainnya dengan segala produk canggihnya, keluaran masa kini. Hal ini membuktikan kecenderungan masyarakat kita yang lebih gandrung pada tontonan, termasuk saya yang acap tergoda pada keindahan visual, akan tetapi saya terus  mulai merangkak untuk tapaki buku-buku dan sumber ilmu lainnya.

Anehnya, pada saat saya bersama-sama mereka para pecinta ilmu, para penerang segala gelap, para penyuluh segala lusuh, saya merasa baik-baik saja, dan merasa tersemangati untuk teras berbuat sesuatu, meski kecil, bagi peradaban dunia yang lebih baik, tapi terkadang setelah pulang ke habitat masing-masing, ke rumah sendiri, tiba-tiba melempem lagi semangat itu. Setidak-tidaknya dari berkomunitas itu kita mendapat manfaat yang nyata jua efek yang bagus untuk berkarya dan kreatif minimal bagi diri sendiri, jangan sampai terbodohi lagi, tertipu lagi atau dikhianati bangsanya sendiri, dan kita malah merasa tenang-tenang saja, karena belum terbuka akal pikiran tentang kenyataan faktual saat ini, lantaran masih tumpul nalar kita untuk mengkritisi kondisi riil negeri ini, oleh sebab belum terbiasanya kita dengan iklim intelektual, seperti para cerdik pandai itu, untuk membaca dan selalu membaca.

Wah, saya merasa menjadi kutu buku, jika bersama mereka.

 

Bandung, Februari 2013

 

Adew Habtsa, lahir di Bandung,bergiat di FLP Bandung,Majelis Sastra Bandung,dan Asian African Reading Club. Pemusik juga Penyair, beberapa puisinya termuat pada  Buku Antologi Puisi, Kapak Ibrahim: Catatan Dari Yang Ketakutan (Pustaka Latifah 2007), Ziarah Kata (MSB,2009), Berjalan Ke Utara (ASAS UPI,2010), Di Kamar Mandi (Komunitas Malaikat,2012), juga beberapa puisinya termuat di media atau surat kabar lokal dan nasional, alumni FISIP UNPAD Jatinangor.

Carita Ngeunaan Lalab

oleh Fadly Rahman

 

Masarakat Sunda boga budaya jeung pangaweruh anu paheut jeung alam sabudeureuna. Kukituna, dina kabudayaanna, masarakat Sunda boga hiji ciri khas dadahareun nu kasohor jeung jarang dibogaan ku budaya kulinér lianna di Indonésia. Dadahareun nu dimaksud nyaéta lalab.

Nu dimaksud lalab nyaéta rupa-rupa pupucukan, dangdaunan, bongborosan, beubeutian, bubuahan, kekembangan, jeung sisikian nu ngareunah tur ngandung khasiat upama dipaké deungeun sangu. Didaharna aya nu mangrupa atah jeung aya ogé nu diasakeun.

Salian mangpaat pikeun kadaharan, lalab ogé boga mangpaat pikeun kaséhatan. Dina kandungan lalab aya sumber énérji di antarana karbohidrat, lemak, protein, vitamin, jeung mineral. Lalab umumna didahar bari dicocol kana sambel tarasi atanapi langsung dina coét.

Yén  kitu, lalab sabenerna lain ngan saukur dicoél sambel wungkul, tapi bisa diolah jadi sagala rupa kadaharan. Sababaraha conto kadaharan Sunda anu bahan dasarna lalab di antarana karédok, ulukutek, pencok, jeung loték. Salian ti nu tadi disebut, lalab ogé biasana sok dijadikeun deungeun sangu rupa-rupa olahan tina bahan hayam, lauk, témpé, tahu, jeung oncom nu digoréng, dibeuleum, dipais atawa dipépés.  

Dina jaman kiwari umumna rupa-rupa lalab nu biasa didahar téh di antarana buncis, bonténg, kacang panjang, salada, tomat, térong, surawung, jeung leunca. Jenis sayuran anu asup kana rupa ahéng alias éksotik siga peuteuy jeung jéngkol dipaké ogé keur ngalalab.

Sanajan kitu, sabenerna aya loba rupa tutuwuhan nu geus dijadikeun lalab ku urang Sunda ti jaman baheula. Ngarujuk ka buku Lalab-Lalaban nu ditulis ku R. Isis Prawiranegara taun 1943, réa kénéh anu nyangka yén lalab nu ngareunah téh ngan anu sok ngahaja dipelak pikeun lalab atawa sayuran baé, kayaning saukur bonténg, kacang, lobak, térong, bit, wortel, jeung engkol wungkul. Teu kabéh nyaraho, yén di alam Sunda téh réa pisan rupa-rupa tutuwuhan nu bisa dijadikeun lalaban jang bahan dahareun sapopoé.   

Dina buku seratan Isis, aya 83 jenis tutuwuhan nu biasa dijadikeun lalaban ku masarakat Sunda. Sabenerna jumlah jenis lalab téh leuwih ti sakitu. Saur Isis : “saenyana  nu ditataan dina ieu buku téh ngan sabagian leutik pisan tina sajumlahing tutuwuhan nu beunang dilalab, upama kabéh kudu ditetek, meureun aya rébuna rupa”. Sababaraha contona nu bisa disebut di dieu nyaéta reundeu, jukut sélong, gandaria, kastuba, putat, jaat, turi, bunut, kimpul, jeung téspong.

Kusabab réa pisan bahan lalab, Prof. Unus Suriawiria dina bukuna Lalab dalam Budaya dan Kehidupan Masyarakat Sunda (1987) nyebutkeun tina 80 jenis kadaharan masarakat Sunda nu dikumpulkeunna, 65% di antarana nyaéta rupa-rupa tutuwuhan nu biasa dijadikeun lalaban – sésana nu 35% lalaukan jeung dadagingan. 

Nilik panalungtikan Prof. Unus éta, ngabuktikeun yén masarakat Sunda téh mémang paheut pisan kana konsumsi lalaban. Sahenteuna éta ngabuktikeun ogé kualitas kaséhatan masarakat Sunda jaman baheula nu dipercaya jauh ti panyawat siga asam urat, koléstérol, jeung jantung koronér kusabab kabiasaan sapopoé ngadahar rupa-rupa lalaban. Salian ti éta aya kapercayaan ogé yén awéwé Sunda téh boga kulit bersih jeung alus kusabab mineng dahar lalaban siga bonténg, surawung jeung térong nu saé pisan jang kaséhatan kulit.


Budaya Lalab kudu Dilestarikeun

Budaya lalab sorangan geus lila pisan ngadeg dina kabudayaan Sunda nu malahan geus dikenal ogé ku masarakat Jawa buhun. Buktina bisa ditilik ti hasil panalungtikan arkeologi ti abad ka-10 M. Disebutkeun dina Prasasti Panggumulan (824 Saka/902 M) ti Jawa Timur aya ngaran bahan-bahan dahareun tina sayuran di antarana rumwah nu hartina lalaban, kulub nu hartina lalaban nu dikulub, jeung tetis nu hartina sambel.

Kos kumaha rupa lalab jaman harita téh? Bisa jadi tutuwuhan khas di padésaan nu aya di Tatar Sunda, contona siga antanan, gelang, gewor, godobos, jotang, jongé, sintrong, senggang, bunut, koang, kosambi, kemang, kihapit, lampeni, marémé, jeung putat.

Aya ogé tutuwuhan siga cabé, engkol, wortel, salada, sampeu, jeung buncis nu awalna mah lain kaasup lalaban khas Sunda. Eta tutuwuhan sabenerna asalna ti banua Amerika jeung Eropah nu dibawa ku padagang-padagang ti Spanyol, Portugis, jeung Walanda di abad ka-16. Salian éta aya ogé tutuwuhan nu asalna ti Cina siga kangkung jeung lobak nu ayeuna geus kaasup lalaban. Lila-kalilaan éta rupa-rupa tutuwuhan asing dipelakan di loba pasawahan jeung pakarangan imah di Tatar Sunda.

Taneuh di Tatar Sunda nu subur ngajadikeun sagala rupa tutuwuhan boh nu lokal boh nu asing tumuwuh subur. Tapi kusabab jaman kiwari rupa-rupa pangwangunan ti mulai imah penduduk nepi ka gedong-gedong beton geus ngadeg di mana-mana, ahirna loba lahan-luhun tutuwuhan nu kagusur.

Saur Abah Enung, salah saurang sesepuh di Leuweung Kaléng nu gaduh perhatosan ka élmu tutuwuhan, ayeuna mah loba masarakat Sunda nu teu apaleun deui kana ngaran-ngaran tutuwuhan téh. Wajar da lahanna ogé pan geus béak ku rupa-rupa pawangunan téa. Kondisi ieu jelas ngahariwangkeun pisan jang kalangsungan lalab salaku identitas budaya Sunda warisan karuhun urang.

Ku matak kitu, hayu urang lestarikeun deui rupa-rupa tutuwuhan lalab; carana bisa liwat melak binihna di pakarangan imah atawa minimal di pot. Ngalestarikeun budaya lalab gedé pisan mangpaatna supaya anak incu urang engké henteu pareumeun obor kana budayana sorangan. Der, ah!   ***(Fadly Rahman/ Sumber: Koran Noong)

                       

 

Menengok Budaya Membaca Buku di Amerika

oleh Yudha P. Sunandar

Suasana usai menghabiskan sepiring salad dan salmon. Pertama dari sebelah kiri adalah Lillian Simmons, sang tuan rumah. Penulis ke-3 dari kanan, berkunjung ke AS pada  akhir Januari-Februari 2013 (Foto: Yudha PS)


Budaya literasi di dunia barat, khususnya Amerika, bisa dikatakan lebih baik dari Indonesia saat ini. Dalam satu tahun, rata-rata warga Amerika berusia 18 tahun ke atas menghabiskan 11 - 20 buku dalam setahun. Bahkan, 25 persen warga Negeri Paman Sam menghabiskan lebih dari 21 buku setahun.

Budaya baca yang tinggi ini memang saya lihat ketika melakukan perjalanan ke Amerika pada Januari dan Februari 2013 lalu. Setibanya di Kota Washington DC, saya berkesempatan mengunjungi beberapa toko buku di kota tersebut. Dua di antaranya adalah Book A Million dan Barnes and Noble.

Masing-masing toko buku ini merancang ruang bacanya senyaman mungkin. Lantainya dilapisi dengan karpet empuk, suhu ruangan diatur agar selalu hangat, dan ruang baca pun dibuat cukup luas. Kenyamanan ini membuat orang betah berlama-lama di toko buku.

Mereka yang berkunjung ke sini pun tidak harus membeli buku. Seringkali mereka mampir hanya untuk membaca buku saja. Mereka bebas memilih buku dan membacanya di lantai yang seempuk kasur. Bahkan, bila ada yang hendak menyalinnya, toko buku ini membebaskannya.

Saya beberapa kali memergoki orang-orang yang tengah menuliskan sebagian isi buku yang mereka baca ke notebook mereka, tanpa membelinya. Ketika beberapa pramusaji lewat dan melihatnya pun, pengunjung ini tidak ditegur. Dengan kata lain, hal ini legal dilakukan.

Buku-buku yang dijual di sini pun umumnya terbuka dan tidak dibungkus oleh plastik sedikit. Sehingga pengunjung bisa bebas membacanya.

Ketika saya berada di Kansas City, Missouri, saya mendapatkan orang tua asuh. Ketika sarapan pagi di pusat perkotaan, salah satu tempat yang mereka kunjungi adalah toko buku. Di sana, kami menghabiskan waktu dengan membaca buku-buku yang dipajang dan majalah-majalah terbaru. Kami melakukannya bukan hanya 10 atau 20 menit, tetapi hingga satu jam. Menurut saya, untuk aktivitas yang diniatkan untuk "singgah", waktu tersebut cukup lama.

Di Amerika, toko buku tidak hanya sebatas tempat untuk menjual buku. Di sini juga tersedia kafe kecil semacam Starbuck. Setelah menemukan buku yang menarik, sebagian dari mereka menikmatinya sambil minum kopi atau memakan kue kering.

Untuk ukuran Amerika, harga di Starbuck cukup murah. Mirip seperti warung kopi di Indonesia. Bila untuk makan dengan porsi standar dan sederhana di Amerika membutuhkan uang sekitar $10, harga makanan di Starbuck umumnya hanya $2. Sangat kecil untuk ukuran orang Amerika.

Dan yang paling membuat saya terkesan adalah cara toko buku melayani pengunjungnya. Sangat ramah. Mereka berbicara dengan sopan dan senyuman. Ketika menanyakan buku yang dicari, mereka berusaha untuk memberikan informasi yang saya butuhkan dengan lengkap.

Apabila stok buku di lokasinya sedang kosong, mereka dengan senang hati menawarkan untuk memesankannya ke toko buku di jaringannya. Pengunjung hanya perlu meninggalkan nomor ponsel atau teleponnya. Pihak toko akan menghubunginya bila buku yang dipesan tiba. 

Meskipun ramah, jangan sekali-kali menyela mereka ketika sedang melayani pengunjung. Pada dasarnya, para pramusaji ini melayani pengunjung seorang demi seorang, dan hal ini sangat ketat sekali. Sang pramusaji tidak segan-segan memperingatkan bahwa dirinya tengah sibuk dan belum bisa melayani pengunjung lainnya. “Saya sedang melayani pengunjung, silahkan menunggu hingga saya selesai,” begitulah biasanya mereka memperingatkan.

Pun ketika saya sedang dilayani dan ada pengunjung lainnya yang hendak bertanya, sang pramusaji pun menyuruh sang pengunjung setelah saya untuk menunggu sebentar. Ketika mendapatkan peringatan untuk menunggu pun, pengunjung bukannya marah, tetapi meminta maaf kemudian menunggu.

Untuk harga buku, saya kira di Amerika cukup murah bagi warga negaranya. Untuk buku dengan ksetebalan hingga 200 lembar, harganya berkisar $15 hingga $40. Bila sekali makan standar dan sederhana di Amerika menghabiskan $10, berarti harga buku di Amerika sekitar 2 hingga 4 kali lipat harga makanan.

Harga buku juga tergantung dari topik dan jenis bukunya. Untuk buku non-fiksi, biasanya lebih mahal daripada buku fiksi. Sedangkan untuk topik-topik yang semakin teknis dan detail, harganya juga lebih mahal dibandingkan buku-buku umum dan populer.

Belum lagi bila bukunya berbentuk elektronik. Biasanya harganya bisa lebih murah 50-80 persen dari harga buku berbentuk fisiknya. Tak heran bila budaya membaca buku di Amerika cukup tinggi. Selain tokonya nyaman, juga harga bukunya cukup murah bagi warga Amerika kebanyakan.

Meskipun haganya murah, tetapi kebanyakan kualitas buku tidak bisa dianggap sepele. Karena literasi dan menulis sudah menjadi budaya, tidak sulit bagi banyak orang untuk menulis dan membuat bukunya sendiri. Hal ini juga ditunjang dengan jumlah buku yang telah mereka baca. Tak heran bila akhirnya sebagian warga Amerika mumpuni untuk menulis buku yang bermutu.

Tingginya minat baca warga Amerika juga ditunjang perpustakaan di setiap kotanya. Ketika di Kansas City, Missouri, saya diajak mengunjungi perpustakaan kota tersebut. Sayangnya, saya mengunjungi di saat yang tidak tepat. Kami berkunjung ke perpustakaan pada hari Minggu pagi. Sedangkan perpustakaan baru buka setelah jam makan siang pada hari itu. Sehingga saya tidak sempat mencicipi perpustakaan di Amerika.

Namun, cerita dari seorang teman yang sudah tinggal lama di Amerika bisa memberikan sedikit gambaran.

Teman saya dan keluarganya tinggal di Amerika sejak kuliah S2 beberapa belas tahun silam. Salah satu aktivitas favorit mereka adalah berkunjung ke perpustakaan kotanya. Di tempat ini, anggota perpustakaan bisa meminjam buku sebanyak yang mereka mau. Dengan kata lain, tidak ada batasan jumlah buku yang bisa dipinjam.

Setiap berkunjung ke perpustakaan, teman saya dan keluarga bisa membawa belasan hingga puluhan buku. Biasanya, buku-buku ini habis mereka baca usai seminggu. Kemudian mereka akan kembali lagi ke perpustakaan dan meminjam belasan hingga puluhan buku lainnya. Aktivitas ini rutin mereka lakukan hingga belasan tahun lamanya.

Hal yang sama juga dilakukan oleh banyak orang di Amerika. Mereka sudah berkunjung ke perpustakaan dan membudayakan membaca buku. Hasilnya, sebuah budaya yang membuat mereka menjadi bangsa yang mendominasi dunia.

 

Bagaimana dengan Indonesia?

Berdasarkan survei UNESCO, indeks membaca masyarakat Indonesia masih sangat rendah, hanya 0,001. Artinya, hanya 1 dari seribu orang masyarakat Indonesia yang membaca buku. Kondisi ini salah satunya disinyalir akibat akses masyarakat terhadap buku-buku bermutu masih sulit karena rendahnya tingkat ekonomi masyarakat.

Keadaan ini hendaknya jadi cerminan kita yang melek literasi untuk memperjuangkan akses buku untuk masyarakat. Kondisi di Amerika juga bisa menjadi rujukan dalam hal ini, tentunya dengan bentuk yang lebih Indonesiawi. Sebagai contoh, membangun perpustakaan yang nyaman dan membuat orang ingin selalu datang berkunjung. Atau bisa juga menyediakan cicilan buku dengan harga yang terjangkau untuk masyarakat.

Apapun itu, perbuatan kita menentukan kondisi bangsa ke depan. Hanya mengutuk dan mengeluh bukanlah solusi. Langkah kecil kita semua saat ini, mudah-mudahan menjadi besar dan berarti di masa yang akan datang. Yang seharusnya kita lakukan saat ini adalah memulai. Jangan tunggu esok, tapi mulai detik ini juga.***

  

Penulis tinggal di Bandung. Saat ini mengelola website: sahabatmkaa.com. Pernah bekerja di: Salman Media dan SalmanITB.com. Pada tahun 2012, terpilih sebagai pemenang untuk kategori umum anugerah Indonesian Human Right Blog Award 2012 dan awal tahun 2013 berkesempatan berkunjung ke Amerika Serikat sebagai peserta International Visitor Leadership Program (IVLP). Sedang berkuliah di jurusan Jurnalistik Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Bandung. Kini beraktivitas di sebuah lembaga yang memiliki fokus untuk mengkampanyekan dan melatih Media Literacy kepada masyarakat Jawa Barat. Tulisan-tulisannya dapat dilihat di: myudhaps.wordpress.com.

Mengenang Dadi, ‘Sang Pakar’ Buku

oleh D. Rachman


      Dadi Pakar sedang membaca buku terbitan “AkuSuka” (Foto: D. Rachman, 2008)

Siang itu di sela-sela waktu istirahat kantor, saya berbincang-bincang dengan salah seorang pakar perbukuan, seperti juga yang melekat pada nama aslinya: Dadi Pakar. Perbincangan berlangsung santai di ruang kerja editor senior Penerbit Angkasa yang saat itu masih di bilangan Jalan Merdeka, Bandung. Kini, bangunan lamanya rata dengan tanah menjadi apartemen mewah.

            Dadi Pakar lahir di Ciamis, 11 Mei 1939 dari pasangan guru. Hidupnya nomaden dari Ciamis, Tasik, Jakarta, hingga Bandung. Sang ayah sempat melamar menjadi tentara dan kemudian hari menjadi jurnalis di kantor berita Aneta (kantor berita selain Antara). Profesi menulis sang ayah ini sedikit banyak telah mempengaruhi Dadi kecil, terlebih ketika sang ayah berdinas di Jakarta.

Ketika itu tahun 1950-an, ia tinggal di perumahan tentara di sekitar Lapangan Banteng dan Departemen Keuangan. Tepat di belakang gedung itu, Dadi kecil seperti menemukan surga. Sepulang sekolah ia rajin mampir ke sebuah toko buku milik salah satu penerbit. Dilahapnya buku-buku anak-anak seperti Si Doel Anak Betawi, Rujak Manis, dan Sebatang Kara yang sangat berkesan di benaknya. Penerbit legendaris itu adalah salah satu penerbit perintis di negeri ini yang sudah didirikan sejak tahun 1908 (menurut Ajip Rosidi dalam Eundeuk-eundeukan) dengan nama mula-mula Comissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur alias Komisi untuk Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat alias Balai Pustaka. Pribumi kecil ini kerap merogoh uang jajannya yang ia sisihkan untuk membeli buku-buku. Ia juga kerap membaca buku sastra Sunda seperti Laleur Bodas dan Karnadi Bandar Bangkong.

       Dadi semakin larut berpetualang di dunia bacaan buku dan membaca buku-buku petualangan. “Petua-langan Indian yang dikarang Karl May menorehkan kesan yang mendalam”, ungkap lelaki yang pernah menjabat Ketua IKAPI Jawa Barat periode 1989-1992 ini.

“Ada lagi buku yang lain”, lanjut Dadi, “Buku karangan Dale Carnegie, Tuan Ingin Banyak Kawan, sangat mempengaruhi hidup saya”. Buku ini, menurut pengamatan saya sudah dicetak berulang kali oleh Penerbit Binarupa Aksara dengan judul baru Bagaimana Mencari Kawan & Mempengaruhi Orang Lain. Buku ini rupanya juga yang membentuk karakter seorang Dadi Pakar yang supel bergaul, mudah dikenal, ramah, memahami perasaan orang dengan cara menyelami, memberi perhatian, tidak suka menyuruh-nyuruh tapi cenderung mengajak. Dalam hal kepemimpinan pun, ia lebih senang memimpin dengan bersama-sama kerja dan memimpin secara demokrat, tidak otoriter.

Dari keluwesannya bergaul ini, salah satunya ia pernah dipercayai menjadi humas sebuah rumah sakit di Bandung. “Saya senang punya banyak kawan. Orang senang kepada kita karena kita senang kepada mereka”, selorohnya.

Di dunia perbukuan, ia selalu dipercaya terutama dalam hal memegang urusan konsultasi, pendidikan dan pelatihan, serta duta Indonesia dalam beberapa event internasional seperti “Frankfrut Bookfair” (tercatat tiga kali dalam tahun yang berbeda), “Pesta Buku Malaysia 1990” sebagai petugas stand Indonesia, dan “Workshop on Copyrights Trading for Book Publisher” di Beijing (2000).

         Sedangkan, dunia yang secara profesional ditekuni mantan dosen D3 Editing Fakultas Sastra Unpad ini adalah editor dan penerjemah. Sempat pula ia memegang staf redaksi beberapa media cetak di antaranya Mahasiswa Indonesia yang akhirnya dibreidel karena mengkritik Soeharto. Setelah itu, mantan anggota tim pelatih Kwarcab Bandung ini juga getol mencetak dan menyebarluaskan sendiri buku seri dari self-publishing miliknya, AkuSuka” yang rata-rata mencetak buku-buku saku Pramuka. Saat ini bagi para pembaca yang ingin tahu kenang-kenangan dari mendiang, dapat membuka-buka halaman websitenya di http://dadi-pakar.blogspot.com.

 

Tulisan pertama dan dunia penerbitan

Masuk ke ITB jurusan elektro tahun 1965, ia memberanikan diri untuk menulis artikel sains. Tulisannya yang pertama berjudul Cara Membuat Elektromotor, dimuat untuk pertama kali di majalah Teruna. Tulisan sains lainnya juga mengisi rubrik percobaan sains di majalah Kuncung, majalah anak-anak yang sempat populer di tahun 1980-an.

Keprigelannya dalam hal menulis sains populer ini rupanya dilirik oleh sang paman, Ojeng Soewargana yang saat itu menjabat Direktur Penerbit Ganaco. Ia diajaknya untuk merevisi 15 judul naskah proyek pengadaan buku sains. Kemampuannya merevisi tak lain berkat pengaruh pendidikan bahasa J.S. Badudu semasa SMP 2 dan SMA Aloysius Bandung.  Dari hasil proyek tersebut, ia mendapat upah sekitar 850 ribu rupiah, angka yang besar di tahun 1970-an. Dari rezeki inilah ia kemudian menikahi Ondasih Suwarsah dan membeli lahan sawah seluas 70 tumbak.


Berkiprah di IKAPI

Gagal menjadi insinyur elektro tak membuatnya patah arang. Ketika sang paman wafat dan Ganaco bubar, ia terus menekuni dunia perbukuan, di antaranya diterima bekerja di penerbit Angkasa dan ikut terlibat langsung mengurus para penerbit. Pilihannya di IKAPI bukanlah suatu kebetulan, awalnya ia ditunjuk sebagai perwakilan Ganaco sejak tahun 1976. Sejak menjadi pengurus Ikapi Jabar, ia pernah menjabat Sekretaris II (1976-1979), Kepala Bidang Promosi (1985-1989), Ketua II (1989-1992), dan Ketua Ikapi (1998-2002). 

       Prestasinya seperti yang dituturkan kepada saya di antaranya adalah gagasan menyelenggarakan Pa-meran Buku Ikapi Jabar yang pertama di Bandung. Penyelenggaraan pameran di tingkat cabang ini merupakan tindak lanjut dari pameran Ikapi yang sering diadakan di Jakarta, tapi di daerah sendiri tidak ada. Ia dan pengurus lainnya lantas mengadakan pameran buku untuk pertama kali di Jarbeurs (Kolongdam) pada tahun 1982-1984. Dengan konsep yang tidak komersial, stand-stand disiapkan untuk kepentingan anggota. Pameran demi pameran terus diadakan dengan berpindah-pindah tempat di antaranya di BIP, Kings, Dezon, dan akhirnya di gedung Landmark.

Memperhatikan perkembangan pameran saat ini, ia sangat menyayangkan sisi komersial pameran yang tidak memperhitungkan pengisi stand, “kok bisa ada stand tas dan sepatu masuk ke area pameran buku”, ujarnya. Ia memafhumi sisi komersial pameran, karena dari keuntungan pameran tersebut kelak akan diinvestasikan untuk pembangunan gedung baru sekretariat Ikapi. Namun, bukan berarti mengenyampingkan kualitas isi pameran. “Ini sebuah kemunduran”, lanjutnya kemudian.

Kegiatan lain yang menjadi catatan sejarah perbukuan selama ia aktif di Ikapi adalah menerbitkan buletin Kalawarta dan mengadakan “Gelar Buku Baca Santai”. Tujuan “Gelar Buku Baca Santai” yang digagasnya yakni membebaskan masyarakat umum dan masyarakat perbukuan dari segala jenis transaksi. Tak ada jual beli. Yang ada hanyalah stand gratis untuk penerbit dan penerbit membawa semua bukunya untuk dibaca gratis di tempat oleh masyarakat. Penerbit menggelar buku, masyarakat membaca santai. Begitu kira-kira gagasannya.

Gelar buku ini selalu mengambil lokasi kegiatan di taman terbuka. Acara pertama pada masa kepe-mimpinannya ini berlangsung sukses di Taman Balaikota tapi tahun-tahun berikutnya surut pengunjung ketika diselenggarakan di Taman Ganesa.

Pada pertengahan tahun 2008, acara kampanye membaca serupa di atas diselenggarakan persis menjelang Pemilihan Walikota Bandung. Saat itu masyarakat diajak untuk berburu buku gratis. Dan saat ini-lima tahun kemudian, kembali persis menjelang Pilwalkot Bandung- diselenggarakan kegiatan dalam rangka mempe-ringati Hari Buku Nasional 2013.  Semoga gagasan Dadi ‘sang pakar’,  tetap dikenang.


D. Rachman, Penulis tinggal di Bandung, bergiat di dunia literasi. Email: propublic.info@gmail.com.  

Penulis saat ini sedang membaca buku Republikanisme dan Keindonesiaan karya Robertus Robert (Penerbit Margin Kiri) dan Teosofi, Nasionalisme & Elite Modern Indonesia karya Iskandar P. Nugraha (Penerbit Komunitas Bambu).


Seruan dari Bandung

oleh Atep Kurnia


Ketika masih kuliah dan harus menyusun skripsi, saya sudah menyiapkan dua materi. Pilihan saya kalau tidak mengkaji cerpen “The Murders in the Rue Morgue” (1841) karya pengarang Amerika Edgar Allan Poe (1809-1849), saya akan meneliti catatan perjalanan sastrawan Afro-Amerika Richard Wright yang berjudul The Color Curtain: A Report on the Bandung Conference (CC, 1956).

            Kedua pilihan itu dilatarbelakangi kedekatannya dengan kehidupan saya di Bandung khususnya, dan Indonesia umumnya. Karena cerpen Edgar itu bercerita tentang orang utan dari Kalimantan yang melakukan pembunuhan berantai. Apalagi karya Richard yang mengetengahkan Konferensi Asia-Afrika (KAA) pada 18-22 April 1955 di Gedung Merdeka, Bandung.

            Akhirnya pilihan saya jatuh pada karya Richard. Namun, muncul masalah. Buku yang hendak saya kaji tidak tersedia di kampus, karena dosen yang memperkenalkan saya pada buku itu tengah meneruskan studi pascasarjana di Yogyakarta. Untung, teman saya dari Australia bersedia mengopi buku itu. Akhirnya ketika dia berkunjung ke Bandung, saya diberi kopian CC, biografi Richard, dan beberapa buku lainnya. Alhamdulillah.

         Buku setebal 245 halaman yang dikasih pendahuluan Gunnar Myrdal dan diberi penu-tup Amritjit Singh itu diterbitkan oleh Dennis Dobson, Ltd dan World Publishers pada tahun 1956. Di dalam buku ini pengarang kelahiran Mississipi, Amerika Serikat, itu membeberkan alasan, persiapan, proses perjalanan, laporan pandangan mata ketika meliput KAA, disertai refleksinya di sana-sini.

       Saat tersiar kabar penyelenggaraan KAA, ia sedang berada di Paris, tempat eksilnya sejak 1946. Saat itu Desember 1954, ia tengah rehat, karena sedang sibuk mempersiapkan buku mengenai Spanyol yang mengharuskannya melakukan perjalanan ke negeri Matador itu dua kali, yaitu antara 15 Agustus-10 September 1954 dan 8 November-17 Desember 1954. Ia tengah rehat untuk memulai kembali kunjungan ke Spanyol yang ketiga kalinya, antara 20 Februari-10 April 1955, saat ia membaca rencana penyelenggaraan KAA (Virgiana W. Smith, “Richard Wright’s Passage to Indonesia,” 2006: 84).

        Saat ia membuka-buka koran sore di apartemennya, Richard tersentak dengan kabar KAA. Kepada istri keduanya Ellen Poplar yang dinikahinya pada 1941, ia menyatakan keinginanannya untuk pergi ke Bandung dan membuat laporannya. Kepada Ellen Poplar ia menyatakan alasan kepergiannya:

 

“Aku rasa hidupku memberiku kata kunci atas apa yang hendak dikatakan dan dilakukan para peserta KAA. Aku Negro Amerika dan merasakan beban kesadaran ras. Begitupun mereka. Saat muda aku bekerja sebagai pekerja pabrik, sehingga aku mempunyai kesadaran kelas. Begitupun mereka. Aku tumbuh dalam bayang-bayang gereja Metodis dan Seventh Day Adventist. Kulihat dan alami agama sewaktu kecil. Mereka pun orang beragama. Selama 20 tahun aku pernah menjadi anggota Partai Komunis dan aku tahu politik dan psikologi perlawanan. Mereka pun menjadikannya sebagai kenyataan sehari-hari. Perasaan ini adalah alat-alatku. Mereka punya emosi dan aku sadar mengenai emosi ini. Aku ingin menggunakannya untuk mencari tahu yang dipikirkan, dirasakan, dan alasannya” (CC, 1994: 15).

 

     Sebelum pergi dan tiba di perhelatan 29 bangsa itu, Richard mengumpulkan tanggapan orang atas KAA melalui obrolan, wawancara, dan menyebarkan angket. Dia berbincang dengan orang Perancis, Amerika, Spanyol, wartawan Belanda kelahiran Indonesia, wartawati kelahiran Singapura berayah India-Muslim dan ibunya Irlandia-Katolik, orang Asia yang lebih Barat ketimbang Barat, pemuda Indonesia berumur 20-an, dan wartawan dari Pakistan.

       Pada tanggal 10 April 1955 dari Madrid, Richard menggunakan pesawat TWA ke Roma disambung menumpang pesawat KLM ke Kairo. Tanggal 12 April 1955 sore, Richard Wright tiba di Jakarta. Ia disambut para pengurus PEN Club Indonesia dan dijemput oleh Mochtar Lubis, sastrawan dan redaktur harian Indonesia Raya. Selama di Jakarta antara 12-17 April, Richard tinggal di rumah Mochtar di daerah Tugu dan sisanya di rumah Mr. P, bekas tentara yang kemudian menjadi insinyur perminyakan. Selama di Jakarta pula, Mochtar mempertemukan Richard dengan Sutan Sjahrir dan Moh. Natsir.

        Memasuki minggu kedua, Richard pergi ke Bandung diantar oleh Mochtar. Mula-mula Mochtar menawa-rinya untuk pergi ke Lembang, menyaksikan Kawah Tangkubanparahu, tapi Richard tidak mau. Ia hendak buru-buru menyaksikan KAA. Selama di Bandung, ia menginap di Hotel van Hengel (Kini, Hotel Panghegar) antara 17-25 April. Dari pembukaan dan penutupan KAA, Richard senantiasa hadir dan menulis laporannya. Ia melaporkan pidato Presiden Sukarno dan para peserta KAA lainnya, berikut kutipan-kutipan pidatonya.

      Dari perjalanan tiga minggu dan dituangkan dalam CC, Richard banyak menyatakan dirinya sendiri, beri-kut kiblat pandangannya. Dalam konteks KAA, dia mendukung sekali kemerdekaan bangsa Asia-Afrika dari belenggu dominasi Barat.

Saat membaca koran berisi warta KAA, dia berseru, “Ya Tuhan! Aku mulai dengan cepat menghitung jumlah daftar bangsa peserta pertemuan. Ketika sampai bilangan miliar, aku berhenti, menurunkan kacamata, dan berpikir sejenak. Arus kesadaran mengharu biru benakku: mereka ini adalah masyarakat yang pernah dijajah dan disebut oleh orang kulit putih sebagai ‘bangsa berwarna’ ... hampir semuanya bangsa yang sangat religius. Ini adalah pertemuan hampir semua ras manusia yang hidup di jantung geopolitik bumi” (CC, 1994: 11-12).

      Sementara para peserta KAA digambarkannya sebagai, “Orang yang dianggap hina, dinistakan, dilukai, dirampas haknya. Pendeknya, orang-orang tertindas itu berkumpul. Ini adalah bangkitnya kesadaran kelas, ras, dan agama di tingkat global. ... Pertemuan orang-orang tersisih ini bisa menjadi semacam penghakiman terhadap dunia Barat!” (CC, 1994: 12).

     Namun, Richard pun tidak terlepas dari penilaian-penilaian negatif terhadap Timur, khususnya Indonesia. Saat datang ke Jakarta dan Bandung, dia menyaksikan berbagai hal yang buruk. Dalam pandangannya, ketika kaum penjajah meninggalkan Indonesia, maka tata tertib (rust en orde) yang dibikin Belanda dirusak warga negara baru. Jadi, yang ditemukannya adalah kekacauan dan ketidakefisienan. Di sisi lain, dia menyatakan bahwa Indonesia di bawah kendali Belanda berjalan sebagaimana mestinya (CC, 92, 94, 96, 97, 104, 107, 116, 117).

     Namun, yang paling menyesakkan, dia menganggap negara baru merdeka dari penjajahan Barat diang-gapnya “anak-anak” yang masih membutuhkan bantuan orang tua atau orang dewasa. Katanya, “Indonesia telah merebut kekuasaan dari Belanda, tapi tidak tahu harus bagaimana menggunakan kekuasaan itu (CC, 132).

Dan dalam konteks KAA, dia menyatakan nada yang sama: “Bandung bukanlah arena politik Kiri dan Kanan; ia bukan hanya episode kecil dalam Perang Dingin; ia bukanlah pertemuan Blok Komunis. Perebutan kekuasaan tidak ada dalam agendanya; Bandung tidak berminat pada perebutan kekuasaan. SEMUA ORANG YANG HADIR DI SANA MEWAKILI PEMERINTAHAN YANG TELAH MEREBUT KEKUASAAN TAPI MEREKA TIDAK TAHU HARUS BAGAIMANA UNTUK MENGISINYA” (CC, 207).

        Tidak heran kesimpulan dan saran yang disodorkan Richard dalam hubungannya deng-an KAA adalah harus ditambahnya kadar keterlibatan Barat untuk “mendewasakan Timur-sebagai anak kecil”. Karena tetap saja di mata Richard, Timur membutuhkan bantuan Barat. Katanya, “PENDEKNYA, BANDUNG ADALAH SERUAN AKHIR ORANG ASIA TERBARATKAN YANG MENGETUK KESADARAN MORAL ORANG BARAT!” (CC, 202). Oleh karena itu, menurutnya, “ ... orang Barat, menurut saya, mesti berbesar hati, bermurah hati, menerima dan memahami kegetiran yang dialami orang Timur” (CC, 202).

        Setelah meliput KAA, Richard kembali lagi ke Jakarta dan tinggal di rumah Mochtar dan Mr. P antara 25 April-5 Mei. Maksudnya untuk lebih mendalami seraya mengumpulkan bahan-bahan tulisan mengenai Indonesia. Di antara waktu itu, ia diminta para penggiat sastra dan seni Indonesia untuk memberikan ceramah. Waktu itu ia menulis “Negro Literature and Industrialization” (Smith, 2006: 102).

Kemudian menurut Smith (2006: 104), meski tidak menyebutkan pesawat untuk pulang ke Paris, tapi catatan Richard (“Notes on Bandung”) mengindikasikan bahwa dia menumpang pesawat Willem Ruys ke Naples pada 5 Mei, dari sana baru dia ke Paris.

 

*Penulis, lulusan Bahasa dan Sastra Inggris UIN Sunan Gunung Djati dengan skripsi berjudul The Repres-entation of Double Consciousness in Richard Wright’s The Color Curtain (2012). Kini aktif sebagai peneliti literasi di Pusat Studi Sunda (PSS) dan anggota dewan redaksi majalah geologi populer Geomagz.