Sabtu, 28 Februari 2015

Total Galunggung

“Galunggung sedang Bersenandung” begitulah salah satu untaian kata romantis yang dilantunkan oleh sebuah grup musik yang tenar dari kota Bandung. Irama dan liriknya begitu menyentuh hati, sehingga bagi mereka yang mengalami prahara Galunggung, lagu itu seperti menjadi penawar duka. Walaupun Galunggung meletus, tetapi ia tidak mengamuk. Ia pun tidaklah marah. Ia bersenandung dengan penuh kasih sayang, membangunkan anak Galunggung yang masih tidur, supaya bangkit dan “berjalan di atas muka bumi” untuk mencari nafkah dan kehidupan. Bukankah bagi mereka yang taat beribadat, melekat kata-kata: “Bergegaslah engkau dalam mencari rezeki,—baqirufiha tolabil rizki

Bubuka yang indah bagian pertama dari buku “Prahara Gunung Galunggung” karya pakar Gunung api yang sangat sedikit di Indonesia yang namanya seperti pesepakbola legendaris, Adjat Sudrajat. Walaupun saya awam terhadap ilmu kegunungapian atau vulkanologi, tetapi saya menjadi sedikit mengetahui hal-ihwal keilmuan tersebut. Itu disebabkan, seperti yang penulisnya sebutkan bahwa buku ini merupakan cerita fiksi ilmiah dengan latar belakang vulkanologi yang dijalin dalam perjalanan sejarah. Dengan menyelipkannya dalam cerita fiksi sahutnya juga, diharapkan materinya dapat diserap dan lebih dijiwai sehingga dapat membangkitkan minat untuk lebih jauh mendalami ilmu kegunungapian atau vulkanologi. Selain itu, peran kang Hawe Setiawan sebagai editor bahasa mampu mengalirkan penceritaan yang indah setiap bagian yang ada dalam buku tersebut.

Dari buku ini juga, saya dapat mengetahui tentang sejarah pendudukan kembali tentara Belanda terhadap negeri kita setelah lepas dari Jepang pada zaman kemerdekaan seperti yang penulis ungkapkan pada Bab Prolog, hal. 4:

“... Namun, ketentraman itu tiba-tiba terusik. Embeng menyaksikan berbagai prahara dan kekejaman saling berganti melanda penduduk Galunggung. Ketika Jepang bertekuk lutut dan Belanda berupaya menjajah kembali Indonesia, terdapat perbedaan pendapat dalam cara mengusir Belanda. Sekelompok orang tidak dapat menerima logika penjajah yang meminta mereka semua untuk pindah ke Yogyakarta. Di kalangan penduduk Galung­gung, kepindahan itu dikenal sebagai “hijrah”. Kelompok yang ada di Galunggung itu tidak mau menyerah pada kehendak Belanda. Mereka bertekad untuk meneruskan perlawanan dengan bergerilya. Embeng tidak tahu apakah penyebabnya memang sesederhana itu, atau mungkinkah ada hal lain yang lebih rumit? Entahlah, Hanya sebatas itu yang ia tahu.
Kelompok itu bertahan di dalam hutan. Mereka itulah yang ternyata kemudian menghantui penduduk Galunggung. Mereka melawan bangsanya sendiri. Sungguh aneh. Sulit bagi Embeng untuk memahaminya. Lebih sulit lagi baginya untuk membedakan siapa kawan, siapa lawan. Gemunung yang biru menghijau tempat Embeng menjalani masa remajanya yang tenteram selama ini, berubah menjadi ajang prahara. Maut mengintai setiap saat. Darah bersimbah membasahi tanah. Untuk apa? Entahlah.
Seperti ternyata nanti, setidaknya seperti yang dialami oleh Embeng, kelompok yang berada di dalam hutan itu haus darah. Mereka menabuh genderang perang! Perang dengan siapa? Em­beng tidak tahu. Yang jelas rakyat di kaki Galunggung sangat menderita. Banyak di antara mereka yang mengungsi, meninggalkan tanah kesayangannya. Tanah yang gemah ripah lohjinawi (subur makmur) yang selama ini memberinya kehidupan, terpaksa harus ditinggalkan. Mereka menyingkir dari pedesaan dan hidup terlunta-lunta di kota.
Alangkah sedih hati Embeng melihat keadaan Galunggung seperti itu. Adanya kelompok yang menghuni hutan di gunung itu, telah menciptakan mimpi buruk yang berkepanjangan. Mimpi buruk bagi Embeng, bagi Pak Guru Sabarudin, dan bagi banyak penduduk Galunggung.
Apa yang didengar Embeng, katanya semua bermula dari sikap Belanda yang akan mengambil kembali tanah bekas jajahannya. Dengan sendirinya niat itu mendapat perlawanan dari seluruh rakyat yang menjadi pemiliknya yang sah. Terjadilah peperangan yang diselingi dengan perundingan-perundingan. Di antara perundingan-perundingan itu ada yang disebut Perundingan Linggajati yang diselenggarakan di sebuah tempat peristirahatan di kaki Gunung Cireme. Kemudian perundingan itu dilanjutkan dengan perundingan di atas geladak sebuah kapal bernama “Renville”. Salah satu keputusan Renville itu adalah adanya garis pemisah yang dinamakan “garis van Mook”. De­ngan garis pemisah itu maka Pulau Jawa dibagi atas daerah pendudukan dan daerah Republik.
Sebagai akibatnya, maka semua pasukan bersenjata yang ada di daerah pendudukan, harus dipindahkan ke daerah Republik. Mereka harus menyerahkan tempat-tempat strategis yang mereka kuasai kepada penjajah Belanda. Seluruh Tatar Priangan merupakan daerah pendudukan. Dengan sendirinya juga Galunggung. Maka semua pejuang harus pindah. Itulah yang kemudian dikenal penduduk Galunggung sebagai hijrah.

Kepulauan Indonesia memiliki gunung api terbanyak di dunia, oleh karena itu sudah sewajarnya jika masyarakat memahami berbagai hal mengenai gunung api. Dengan pemahaman ini diharapkan dampak positif gunung api dapat dimanfaatkan, sedangkan dampak negatifnya dapat dihindari. Sejalan dengan hal itu, Sarwono –Kepala Penanganan Bencana Gunung Api RI—dalam tulisannya di Kompas 15 Februari 2014 berjudul Gunung Api: Antara Berkah dan Bencana menyebutkan bahwa semua gunung api itu memang membawa berkah kesuburan luar biasa. Tanpa gunung api, pulau-pulau di Nusantara hanyalah sekumpulan batu karang. Daerah dengan gunung api pasti mempunyai produk unggulan. Tanpa Sinabung yang me­letus tahun 800, misalnya, tidak ada jeruk medan yang terkenal. Tanpa Gunung Gede, kita tidak pernah bisa membanggakan beras cianjur. Sayuran bermutu banyak dari Lembang karena di situ ada Tangkuban Perahu. Juga, penduduk Galunggung dikenal sebagai pedagang dan pengrajin yang ulet. Hampir seluruh pelosok Tanah Air mengenal kemahiran niaga dan kerajinan penduduk yang berasal dari Gunung Galunggung.

Berlanjut dari hal tersebut, pengetahuan tentang fenomena geologi yang terjadi di da­lam bumi, harus digambarkan melalui fantasi. Tokoh fiksi dalam buku tersebut berkelana di dalam perut bumi untuk menyaksikan apa yang diceritakan dalam teori. Tentu semua orang mengetahui bahwa penyusun teori itu sendiri belum pernah menyelam ke dalam perut bumi dan menyaksikan apa yang ditulis dalam teorinya. Dengan gambaran yang diberikan dalam buku ini mudah-mudahan dapat ditimbulkan fantasi untuk memahami fantasi dari para pembuat teori tersebut. Penulis dalam buku ini mampu menceritakan secara apik dan mudah dicerna seputar kejadian Gunung Galunggung meletus, pada Bab 13, berikut ini.
“... Beberapa pengungsi memikul orang tua yang sudah renta dan tak mampu berjalan. Seorang nenek dengan sabar duduk di dalam tolombong yang dipikul oleh dua orang laki-laki berumur setengah baya, mendengarkan apa yang diperdebatkan oleh kedua orang yang memikulnya. Raut mukanya tampak cemas, namun ia senang juga berayun-ayun dalam tolombong itu. Alat yang terbuat dari anyaman bambu itu biasanya berfungsi sebagai wadah untuk mengangkut beras atau gabah.
Letusan kali ini bertambah besar. Hujan abu turun de­ngan deras dan berkepanjangan. Hampir seharian udara dalam keadaan remang-remang. Cahaya matahari tak mampu menembus lebatnya hujan abu. Hamparan abu hampir setinggi mata kaki. Daun kelapa merunduk, ada pula yang patah karena tidak kuat menahan beban abu. Tanaman penduduk rusak, bukan saja karena ditimpa, tetapi juga karena panasnya abu. Dedaunan semuanya layu. Pohon pisang mulai mengering.

Pengungsian bertambah sibuk, karena selain manusia sekarang ternak pun ikut diungsikan. Domba dan kambing berbaur dengan pengungsi. Ternak itu dengan mudah dapat digiring. Lain halnya dengan ayam. Mengungsikan ayam cukup sulit apa lagi jumlahnya ribuan. Di atas kolam-kolam di kaki Galunggung pada ummnya terdapat kandang ayam. Mengungsikan ikan lebih sulit lagi. Pengungsian ikan ini memerlukan cara tersendiri. Kantong plastik yang diisi air dan diberi oksigen, akhirnya dapat menyelamatkan ratusan ribu ekor ikan ...
... Banyak legenda yang berkaitan dengan banjir lahar. Pada umumnya legenda itu bercerita tentang kemampuan “supranatural” yang dapat menaklukkan lahar. Di Gunung Kelut, orang percaya bahwa dalam penglihatan orang-orang sakti, lahar se­ringkali berwujud sebagai segerombolan kerbau yang berlarian menuruni bukit. Seperti mengendalikan kerbau, maka arus la­har itu dapat dibelokkan dengan menggunakan cambuk. Lahar yang dicambuk, membelok ke tempat lain seperti layaknya gerombolan kerbau. Dengan begitu maka tempat pemukiman dapat diselamatkan. Di Gunung Kelut inilah untuk pertama kali ahli-ahli gunungapi menyebut aliran banjir panas itu sebagai lahar, sebuah kata yang diambil dari bahasa setempat. Sekarang kata lahar sudah menjadi terminologi yang dipakai di seluruh dunia.
Di Gunung Galunggung ada pula cerita semacam itu. Tetapi di sini kekuatan pengendali bukanlah berasal dari “supranatural” melainkan dari doa seorang panutan yang tak hentinya beribadah. Berkat doa yang khusyuk dari seorang panutan, banjir lahar dapat dibendung. Permohonan seorang yang taat beribadah telah didengar dan kemudian dikabulkan oleh Allah SWT. Sungguh ajaib, banjir lahar seolah menepi untuk menghindari pemu­kiman. Masjid dan pesantren seolah merupakan sebuah pulau di lautan banjir lahar. Begitulah cerita penduduk.
Pada tahun 1822, Galunggung meletus dengan dahsyatnya. Lembah sungai yang berhulu di Kawah Galunggung, hampir seluruhnya mengalami banjir lahar. Sebanyak 4.011 orang tewas. Sesudah peristiwa itu Galunggung berdiam diri dan kemudian meletus kecil pada tahun 1894. Letusan itu berlangsung singkat. Pada tahun 1918 terjadi letusan yang menghasilkan kubah lava yang disebut Gunung Jadi. Asap dan rembesan gas muncul dari beberapa lokasi di tepian Gunung Jadi, seperti di Kawah Karso, Kawah Hejo, dan Kawah Cekok. Secara keseluruhan, kegiatan Gunung Galunggung mengikuti proses yang ideal, mulai dari pembentukan, kemudian penghancuran diri dan pembentukannya kembali. Pada setiap episode letusan, siklus ini bisa terjadi. Pada letusan tahun 1982, Gunung Galunggung memperlihatkan karakter letusan yang dengan jelas mengikuti siklus.
Selama masa istirahat terjadi pembentukan gas dan uap yang memakan waktu selama 64 tahun, yaitu sejak pembentukan Gu­nung Jadi pada tahun 1918...
... Demikianlah letusan Galunggung itu telah berlangsung se­lama hampir satu tahun. Letusan pertama terjadi pada tanggal 5 April 1982 dan terakhir terjadi pada 1 Januari 1983. Secara ringkas kegiatan itu dapat dibagi dalam tiga fase, yaitu fase pertama dari tanggal 5 April sampai 3-5 Juni 1982 berupa pendobrakan, fase ke dua dari 5 Juni sampai 13 Agustus berupa letusan abu atau Vulkanian dan fase ke tiga dari 13 Agustus sampai 1 Januari 1983, berupa letusan Stromboli, yaitu letusan ritmik abu dan batu yang disertai dengan semburan bunga api. Selanjutnya abu dan batu-batu yang dilemparkan berakumulasi di lereng Galunggung dan dibawa air hujan menjadi lahar.
Demikian urut-urutan letusan Galunggung berdasarkan analisis para ahli. Rupanya menjelang subuh itu Gunung Ga­lunggung mengingatkan penduduk agar bangun dan memulai kehidupan. Galunggung bersenandung. Melihat dahsyatnya letusan dan jumlah penduduk yang padat di sekitarnya, maka sesungguhnyalah gunung itu telah bersenandung. Tak banyak korban yang jatuh dalam peristiwa yang dahsyat itu. Penduduk lereng Galunggung semuanya berhasil mengungsi.
Di bedeng-bedeng pengungsian para pengungsi itu merasa tertolong oleh bantuan yang mengalir dari banyak pihak, termasuk seseorang yang tidak diketahui namanya yang menjadi lakon dalam cerita fiksi ini. Mereka tidak tahu bahwa bantuan itu datang dari seseorang yang sedang terbaring tak berdaya. Orang itu sedang menyesali segala perbuatan yang dilakukannya ketika setiap malam ia berkelana di lereng Galunggung. Perbuat­an yang telah menyengsarakan penduduk Galunggung. Sekarang dengan harta bendanya yang berlimpah ia ingin membahagiakan penduduk yang sedang prihatin itu. Demikianlah yang dilakukan Embeng ketika mendengar penduduk Galunggung terpaksa meninggalkan kampung halaman yang dicintainya dan berjejal di bedeng-bedeng pengungsian.

Buku ini diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Galeri Padi pada 2010 dan pada cetakan kedua pada Badan Geologi pada 2013. Dengan ilustrasi berwarna yang menarik dari keempatbelas bab yang ada buku ini menjadi penawar dahaga keringnya para ilmuwan Indonesia untuk menyosialisasikan keilmuannya lewat fiksi ilmiah populer.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar