Kamis, 21 Maret 2013

Nusantara Bandung Library



Yeah, membaca Kompas Suplemen Jawa Barat, tentang adanya wacana pengubahan Plasa Nusantara, tempat saya nonton film bioskop serta tempat di mana sepuluh hari sebelum Lebaran untuk berbelanja 20 tahun ke belakang, menjadi perpustakaan, sangat menarik. Apa sebab? Ketika pemetaan pusat perbelanjaan di Kota Bandung menjadi tersebar, saatnya lah pola pengolaan pusat kota menjadi kreatif, melihat ke belakang untuk maju ke depan. Bandung adalah salah satu kota pendidikan, kota sejarah, dan juga kota ekonomi kreatif. Disaat hariwangnya institusi pendidikan terutama universitas akan banyaknya lulusan yang menganggur, tibalah saatnya—walaupun agak terlambat—untuk mengubah salah satu gedung yang dimiliki Pemkot Bandung, Plasa Nusantara, menjadi Perpustakaan Nusantara. Ya, dengan luasnya areal serta tempat yang strategis berhadapan dengan Taman Mesjid Agung, Pendopo Walikota Bandung, serta di sekelilingnya pusat perbelanjaan, tidak menutup kemungkinan kawan lama tempat nongkrong yang paling asoy kembali marak. Itu pada akhirnya juga meningkatkan pendapatan daerah dari berbagai aspek. Lebih jauh berpikir ke depan jika budaya baca melalui letak perpustakaan yang strategis ini terealisasi, tidak menutup kemungkinan para pengusaha/pedagang baru bermunculan dengan lebih beretika dan profesional, mahasiswa bisa memanfaatkan salah satu space yang ada untuk berdiskusi serta realisasinya di era perdagangan bebas ini, masyarakat bisa membaca buku secara nyaman. Juga, terutama bagi para guru, dosen, serta program pemerintah yang mengobarkan semangat ini secara membumi ke masyarakat.

Tak terbantahkan, seperti dikutip oleh Mas Putut Widjanarko, seorang alumnus Fisika ITB, dalam bukunya Elegi Gutenberg: Memposisikan Buku di Era Cyberspace bahwa, “…, diri pribadi yang bertafakur tergusur diterpa kemeriahan kebudayaan semua-elektronik. Akibat lain, adalah tergerusnya bahasa. Kompleksitas, parodi, ironi, ambiguitas, kekayaan dan kelembutan bahasa menghilang. Digantikan oleh bahasa robotik, teknis, langsung, sederhana, dan tergesa-gesa. Bahkan, perspektif sejarah orang pun mendangkal. Itu dikarenakan kesinambungan sejarah, dalam batas tertentu, dapat dilihat secara fisik dari akumulasi jumlah buku di perpustakaan. Semakin banyak bukunya, semakin jauh kita bisa tarik sejarah ke belakang. Buku, tak ubahnya, seperti penyambung ke masa lampau. Sekali penyambung itu putus, masa lalu pun menjadi memudar. Data base dan internet, sebaliknya, menghilangkan kepekaan terhadap kronologi, kepekaan terhadap garis waktu. (Dan hal itu, takapa jika budaya baca bersama sama melaju kencangnya—penulis).”

Akhirnya, takaneh jika seorang pekerja Indonesia di Tokyo Jepang, waktu libur membawa keluarganya ke perpustakaan nasional di sana. Kenapa gerangan? Ternyata perpustakaan di sana layaknya seperti tempat wisata. Selain tempatnya di pusat kota, pembaca bisa sesuka hati membaca bahkan sambil duduk di lantai/kursi/karpet yang nyaman, bercengkrama bersama keluarga. Juga, Anda mungkin terheran heran jika datang ke perpustakaan terbesar di dunia, Library of Congres, AS. Perpustakaan ini didirikan tahun 1800, yang menyimpan 108 juta terbitan. Panjang rak perpustakaan ini sekitar 851 kilometer dan mempekerjakan 4.700 karyawan. Lalu bagaimana Bandung? Dalam hal ini saya sangat mengapresiasi STT Telkom, karena banyak menerbitkan buku internal bagi mahasiswa padahal institusi pendidikannya merupakan barometer ilmu teknologi informasi di Indonesia, serta perpustakaannya yang ciamik.
Dani R. Hasanudin
Dosen Tipografi dan Desktop Publishing
pada Program DIII Penerbitan (Editing)
Fakultas Ilmu Budaya Unpad 
Bekerja di Penerbit Balatin Pratama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar