Jumat, 12 Mei 2023

Mendadak jadi Kutu Buku, Bersama Klub Baca, dalam Komunitas, pada Ruang Publik yang Jarang Dilirik

 oleh Adew Habtsa

 


Stempel pangedulan alias bermalas-malasan telah tertera di kepala ini. Semenjak saya duduk di bangku sekolah dasar, sampai bereslah kuliah, memperlakukan buku hanya sekedar memenuhi tugas guru di sekolah atau di kampus, itu pun kalau sempat, jika tidak, melihat kawan hasil kerja kawan (baca: mencontek) adalah jalan pintas yang paling menegangkan dan mencengangkan. Jikalau hari ini saya berkacamata tebal, itu bukan pertanda mutlak orang yang rajin membaca buku, meski hampir para penggila buku itu berkacamata minus, sebab kacamata adalah indikator seseorang rusak matanya lantaran banyak faktor, sebagai misal, kurang makan vitamin A atau menonton film dan main game yang kelewat batas, seperti yang sering saya lakukan di masa lampau.

Sudahlah, itu fragmen kanak-kanak saya, dan semua orang remaja dan dewasa hari ini, pasti mengalami fase itu, ada yang rajin belajar siang dan malam, ada juga anak-anak yang malas taktertolongkan lagi, hingga kenakalanlah yang tertampakkan selalu. Bila menjenguk episode masalalu, boro-boro memahami bagaimana manfaat sebuah buku dan pentingnya belajar yang tekun, rayuan untuk bermain dan bermain lagi dan terus bermain-main dengan aneka permainan, berkumpul dengan bocah-bocah satu angkatan, lebih kuat mendesak diri ini, sampai lepaslah tekad belajar seperti yang sering diujarkan oleh guru-guru di sekolah dan kedua orang tua beserta saudara-saudara yang hirau lainnya. Memang saya memilliki cita-cita, itu pun ingin menjadi pemain sepak bola, sampai-sampai jika petang datang, bergegaslah menuju lapangan sepakbola, seadanya perlengkapan, masih berseragam sekolah, sesukanya mengisi waktu, dengan rasakan keseruan juga keasyikan yang sulit digambarkan bersama kawan lainnya.

Walau memang orang tua, yakni ayah saya adalah sosok pendidik pada sebuah sekolah dasar yang tiap sepekan sekali, selalu membawa buku, majalah dan koran, yang barangkali didapat dengan memotong gaji bulanannya, lalu dengan agak memaksa, bahwa tiap sekolah hendaknya berlangganan media itu, tapi ambil sisi positifnya saja, dari buku, majalah dan koran-koran itu, saya sudah mulai melihat-melihat judul buku dan desain jilidnya yang menarik, membolak-balikan koran, membaca cerita lucu dan juga gambar-gambar karikatur yang terpampang di majalah itu. Lumayan. Hanya bisa sampai itu saja. Setelah itu, bergegas lagi menuju keramaian, keceriaan permainan, kembali bermain-bermain di lapangan itu, di sawah itu, di kolam itu, di sungai itu, berburu capung, belalang, ikan-ikan, dan bermain bola lagi.

Masa berganti. Waktu berubah. Teman-teman pun bertambah. Satu per satu membawa tabiat yang unik dan menarik. Lingkaran pertemanan pun memengaruhi saya untuk mulai memahami konsep diri dalam percaturan lingkungan masyarakat terdekat, sekampung, lebih jauh sebangsa dan senegara. Tiba-tiba saya merasa bahwa saya harus berguna, kendati cita-cita jadi pemain sepakbola kandas juga. Mungkin saya tidak konsisten, atau takserius untuk menapaki  jalur itu, padahal dari sepakbola bisa memperbaiki nasib diri sekaligus memperbaiki nasib bangsa di mata dunia internasional dengan prestasi yang baik, tentu saja.

Bebas dari perkuliahan, satu komunitas menulis saya jejaki, tiba-tiba saja saya ingin jadi Penulis, bukan karena, susahnya mencari lapangan pekerjaan, apalagi persaingan angkatan kerja taksebanding dengan lapangan pekerjaan itu sendiri, barangkali ada yang keliru, kita malah tercipta untuk bekerja pada satu departemen sesuai dengan jurusan yang kita geluti, sebagai contoh, alumni Fakultas Pertanian, harus bekerja di Departemen Pertanian, dan seterusnya. Padahal taksemestinya selalu begitu, bukan?  Walau kadang-kadang saya juga mengirimkan surat lamaran pekerjaan pada satu lembaga dan instansi tertentu, tapi taksemuanya berjalan mulus dan diterima dengan baik. Beberapa jenis pekerjaan pernah dilakukan, dari Sales Kompor Gas, Surveyor, sampai menjadi Guru sebuah sekolah swasta yang sangat bersahaja. Asyik dan menyenangkan, melelahkan raga, namanya juga bekerja.

Entahlah mungkin saya melihat dan mendengar, kisah para penulis yang sukses, mendapatkan keuntungan finansial yang luar biasa besarnya, tertegun melihat mereka bisa membuat novel, cerpen dan puisi, pastinya terampil sekali dalam mengembangkan tema  yang menarik dan sangat menginspirasi khalayak banyak. Takusah saya sebut para penulis yang mengilhami itu, takut mereka jadi sombong dan merasa diri hebat. Biarkan saja mengalir, apa adanya. Pilihan memasuki Komunitas kepenulisan Forum Lingkar Pena (FLP), di kota kelahiran saya, FLP Bandung, bermarkas di Kompleks Masjid Salman ITB, taktertahankan lagi.

 Dari tempat dan komunitas ini saya mempelajari banyak hal, terutama dari hembusan semangat para Pengurus yang selalu mengobarkan betapa membaca menjadi langkah awal untuk memasuki dunia kepenulisan. Mulailah buku-buku saya baca, sedikit demi sedikit, berangur-angsur, taksekaligus, ternyata belum kuat staminanya. Mulailah beragam bacaan dicerna, dari buku-buku kesusasteraan: cerpen, puisi, esei hingga kajian filsafat dan keagamaan terus dibaca, perlahan-lahan, sembari terus belajar menulis puisi dan atau yang seperti puisi. Bagaimana saya tidak akan membaca buku, atau menghindar  dari buku, yang jelas itu bukan penyelesaian yang baik, setiap kali pertemuan, selalu ditanya tentang buku yang sedang dan sudah dibaca, ditulis pada setiap lembaran daftar hadir. Atau dalam pertemuan khusus, sesekali diminta para pementor untuk menceritakan buku yang sedang baca, malu jadinya, tiba-tiba muncul rasa gengsi, bila takmampu menceritakan isi buku itu. Dengan terkondisikan seperti ini, mau takmau haruslah membaca, minimal satu buku besar seminggu sekali, terserah topik bukunya seperti apa.

Komunitas FLP, khususnya yang berada di Bandung, merupakan kumpulan orang-orang yang bersiteguh untuk belajar menulis dan nyaman untuk beraktivitas di luar medan kepenulisan, hingga keinginan saya untuk membuat lirik lagu pun dapat terakomodasi dengan baik. Diam-diam saya pun mencoba memusikalisasi puisi dari beberapa penyair yang sudah tersohor karya-karyanya, yang saya baca dari buku antologi puisi mereka, yang saya beli atau pinjam dari kawan. Tentang proses kreatif saya dalam bermusik dan menggubah puisi menjadi komposisi lagu, ini butuh ruang khusus. Intinya, hasrat belajar dan keingintahuan yang meletup-letup coba dijaga, meski nanti pelan-pelan, dibuat tenang dan menyenangkan segalanya.

Lantas ada kebutuhan lain rupa-rupanya, ingin menambah jaringan pertemanan, butuh penghargaan dari yang lain juga atas karya tulis sastra yang dibuat, berharap wawasan pengetahuan bertambah dengan berguru pada sastrawan yang lebih menggelegar semangat hidupnya beserta pengalaman estetikanya yang membanggakan, sehingga karya-karya kita pun dapat membahana, tidak hanya dikenal di komunitas itu-itu saja. Saya dan beberapa teman satu minat tentunya, mulai mendatangi ruang-ruang publik yang menghadirkan diskusi-diskusi menarik, kajian-kajian pemikiran, seperti kuliah umum, terbuka untuk siapa saja, dan pastinya mencari yang gratis, untuk sama-sama hadir, mengikuti rangkaian acara, terutama pemaparan yang disampaikan para ahli, berkenaaan sastra dan apapun yang melingkupinya.

Salah satu tempat publik yang kerap saya datangi adalah Gedung Indonesia Menggugat  (GIM), seperti diketahui, asal tempat itu merupakan gedung pengadilan zaman Hindia Belanda, satu tempat tatkala Soekarno muda beserta kawan-kawan seperjuangannya lancarkan pledoi untuk menjelaskan bahwa kolonialisme layak digugat, karena telah menyengsarakan semesta raya nusantara. Dari tempat itu pula saya bertemu dengan komunitas Majelis Sastra Bandung (MSB), yang juga fokus pada pengembangan ruang sastra, dan semangat saya untuk membaca yang kadang-kadang redup, bisa bangkit lagi. Di dalam program MSB ada kegiatan rutin yang tentu saja mendatangkan pembahas atau pemateri yang berkualitas, hal ini menandakan bahwa mereka adalah pembaca yang baik, pelahap segala ilmu pengetahuan, bertutur dengan runut,  wajar kalau  pemparannya sangat enak dan memuaskan.

Dan kini saya memasuki Museum Konperensi Asia Afrika (MKAA), sang Saudagar Buku dari Bojongkaler, Deni Rachman, mengajak saya untuk berkecimpung pada kegiatan di dalamnya. Sampai tercetuslah ide untuk membuat sebuah klub buku, keren terdengar, keinggris-inggrisan, maklum berada di museum berkelas internasional, Asian African Reading Club namanya, singkat saja AARC. Bermula dari lingkaran kecil, yang hadir terhitung jari, berasal dari pusparagam latar-belakang sosial.  Ada benarnya kata seorang sahabat, bahwa para pembaca adalah kaum minoritas, sedikit sekali jumlah para pembaca.

 Barangkali kita juga pernah mendengar berkaitan dengan kondisi buruk daya baca satu masyarakat kita, ditambah juga menurunnya daya beli terhadap aneka bacaan, termasuk buku, bila dibandingkan dengan negara tetangga lainnya, masih jauh tertinggal. Apatah lagi menanyakan jumlah buku yang diproduksi satu tahun oleh satu negara, teramat miris. Hasrat membaca juga sudah megap-megap, apalagi nanti bila akan membidik gairah menulis, yang kembang-kempis itu. Terkalahkan segalanya oleh animo yang kuat untuk membeli televisi, gadget, dan media elektronika lainnya dengan segala produk canggihnya, keluaran masa kini. Hal ini membuktikan kecenderungan masyarakat kita yang lebih gandrung pada tontonan, termasuk saya yang acap tergoda pada keindahan visual, akan tetapi saya terus  mulai merangkak untuk tapaki buku-buku dan sumber ilmu lainnya.

Anehnya, pada saat saya bersama-sama mereka para pecinta ilmu, para penerang segala gelap, para penyuluh segala lusuh, saya merasa baik-baik saja, dan merasa tersemangati untuk teras berbuat sesuatu, meski kecil, bagi peradaban dunia yang lebih baik, tapi terkadang setelah pulang ke habitat masing-masing, ke rumah sendiri, tiba-tiba melempem lagi semangat itu. Setidak-tidaknya dari berkomunitas itu kita mendapat manfaat yang nyata jua efek yang bagus untuk berkarya dan kreatif minimal bagi diri sendiri, jangan sampai terbodohi lagi, tertipu lagi atau dikhianati bangsanya sendiri, dan kita malah merasa tenang-tenang saja, karena belum terbuka akal pikiran tentang kenyataan faktual saat ini, lantaran masih tumpul nalar kita untuk mengkritisi kondisi riil negeri ini, oleh sebab belum terbiasanya kita dengan iklim intelektual, seperti para cerdik pandai itu, untuk membaca dan selalu membaca.

Wah, saya merasa menjadi kutu buku, jika bersama mereka.

 

Bandung, Februari 2013

 

Adew Habtsa, lahir di Bandung,bergiat di FLP Bandung,Majelis Sastra Bandung,dan Asian African Reading Club. Pemusik juga Penyair, beberapa puisinya termuat pada  Buku Antologi Puisi, Kapak Ibrahim: Catatan Dari Yang Ketakutan (Pustaka Latifah 2007), Ziarah Kata (MSB,2009), Berjalan Ke Utara (ASAS UPI,2010), Di Kamar Mandi (Komunitas Malaikat,2012), juga beberapa puisinya termuat di media atau surat kabar lokal dan nasional, alumni FISIP UNPAD Jatinangor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar