Jumat, 12 Mei 2023

Mengenang Dadi, ‘Sang Pakar’ Buku

oleh D. Rachman


      Dadi Pakar sedang membaca buku terbitan “AkuSuka” (Foto: D. Rachman, 2008)

Siang itu di sela-sela waktu istirahat kantor, saya berbincang-bincang dengan salah seorang pakar perbukuan, seperti juga yang melekat pada nama aslinya: Dadi Pakar. Perbincangan berlangsung santai di ruang kerja editor senior Penerbit Angkasa yang saat itu masih di bilangan Jalan Merdeka, Bandung. Kini, bangunan lamanya rata dengan tanah menjadi apartemen mewah.

            Dadi Pakar lahir di Ciamis, 11 Mei 1939 dari pasangan guru. Hidupnya nomaden dari Ciamis, Tasik, Jakarta, hingga Bandung. Sang ayah sempat melamar menjadi tentara dan kemudian hari menjadi jurnalis di kantor berita Aneta (kantor berita selain Antara). Profesi menulis sang ayah ini sedikit banyak telah mempengaruhi Dadi kecil, terlebih ketika sang ayah berdinas di Jakarta.

Ketika itu tahun 1950-an, ia tinggal di perumahan tentara di sekitar Lapangan Banteng dan Departemen Keuangan. Tepat di belakang gedung itu, Dadi kecil seperti menemukan surga. Sepulang sekolah ia rajin mampir ke sebuah toko buku milik salah satu penerbit. Dilahapnya buku-buku anak-anak seperti Si Doel Anak Betawi, Rujak Manis, dan Sebatang Kara yang sangat berkesan di benaknya. Penerbit legendaris itu adalah salah satu penerbit perintis di negeri ini yang sudah didirikan sejak tahun 1908 (menurut Ajip Rosidi dalam Eundeuk-eundeukan) dengan nama mula-mula Comissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur alias Komisi untuk Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat alias Balai Pustaka. Pribumi kecil ini kerap merogoh uang jajannya yang ia sisihkan untuk membeli buku-buku. Ia juga kerap membaca buku sastra Sunda seperti Laleur Bodas dan Karnadi Bandar Bangkong.

       Dadi semakin larut berpetualang di dunia bacaan buku dan membaca buku-buku petualangan. “Petua-langan Indian yang dikarang Karl May menorehkan kesan yang mendalam”, ungkap lelaki yang pernah menjabat Ketua IKAPI Jawa Barat periode 1989-1992 ini.

“Ada lagi buku yang lain”, lanjut Dadi, “Buku karangan Dale Carnegie, Tuan Ingin Banyak Kawan, sangat mempengaruhi hidup saya”. Buku ini, menurut pengamatan saya sudah dicetak berulang kali oleh Penerbit Binarupa Aksara dengan judul baru Bagaimana Mencari Kawan & Mempengaruhi Orang Lain. Buku ini rupanya juga yang membentuk karakter seorang Dadi Pakar yang supel bergaul, mudah dikenal, ramah, memahami perasaan orang dengan cara menyelami, memberi perhatian, tidak suka menyuruh-nyuruh tapi cenderung mengajak. Dalam hal kepemimpinan pun, ia lebih senang memimpin dengan bersama-sama kerja dan memimpin secara demokrat, tidak otoriter.

Dari keluwesannya bergaul ini, salah satunya ia pernah dipercayai menjadi humas sebuah rumah sakit di Bandung. “Saya senang punya banyak kawan. Orang senang kepada kita karena kita senang kepada mereka”, selorohnya.

Di dunia perbukuan, ia selalu dipercaya terutama dalam hal memegang urusan konsultasi, pendidikan dan pelatihan, serta duta Indonesia dalam beberapa event internasional seperti “Frankfrut Bookfair” (tercatat tiga kali dalam tahun yang berbeda), “Pesta Buku Malaysia 1990” sebagai petugas stand Indonesia, dan “Workshop on Copyrights Trading for Book Publisher” di Beijing (2000).

         Sedangkan, dunia yang secara profesional ditekuni mantan dosen D3 Editing Fakultas Sastra Unpad ini adalah editor dan penerjemah. Sempat pula ia memegang staf redaksi beberapa media cetak di antaranya Mahasiswa Indonesia yang akhirnya dibreidel karena mengkritik Soeharto. Setelah itu, mantan anggota tim pelatih Kwarcab Bandung ini juga getol mencetak dan menyebarluaskan sendiri buku seri dari self-publishing miliknya, AkuSuka” yang rata-rata mencetak buku-buku saku Pramuka. Saat ini bagi para pembaca yang ingin tahu kenang-kenangan dari mendiang, dapat membuka-buka halaman websitenya di http://dadi-pakar.blogspot.com.

 

Tulisan pertama dan dunia penerbitan

Masuk ke ITB jurusan elektro tahun 1965, ia memberanikan diri untuk menulis artikel sains. Tulisannya yang pertama berjudul Cara Membuat Elektromotor, dimuat untuk pertama kali di majalah Teruna. Tulisan sains lainnya juga mengisi rubrik percobaan sains di majalah Kuncung, majalah anak-anak yang sempat populer di tahun 1980-an.

Keprigelannya dalam hal menulis sains populer ini rupanya dilirik oleh sang paman, Ojeng Soewargana yang saat itu menjabat Direktur Penerbit Ganaco. Ia diajaknya untuk merevisi 15 judul naskah proyek pengadaan buku sains. Kemampuannya merevisi tak lain berkat pengaruh pendidikan bahasa J.S. Badudu semasa SMP 2 dan SMA Aloysius Bandung.  Dari hasil proyek tersebut, ia mendapat upah sekitar 850 ribu rupiah, angka yang besar di tahun 1970-an. Dari rezeki inilah ia kemudian menikahi Ondasih Suwarsah dan membeli lahan sawah seluas 70 tumbak.


Berkiprah di IKAPI

Gagal menjadi insinyur elektro tak membuatnya patah arang. Ketika sang paman wafat dan Ganaco bubar, ia terus menekuni dunia perbukuan, di antaranya diterima bekerja di penerbit Angkasa dan ikut terlibat langsung mengurus para penerbit. Pilihannya di IKAPI bukanlah suatu kebetulan, awalnya ia ditunjuk sebagai perwakilan Ganaco sejak tahun 1976. Sejak menjadi pengurus Ikapi Jabar, ia pernah menjabat Sekretaris II (1976-1979), Kepala Bidang Promosi (1985-1989), Ketua II (1989-1992), dan Ketua Ikapi (1998-2002). 

       Prestasinya seperti yang dituturkan kepada saya di antaranya adalah gagasan menyelenggarakan Pa-meran Buku Ikapi Jabar yang pertama di Bandung. Penyelenggaraan pameran di tingkat cabang ini merupakan tindak lanjut dari pameran Ikapi yang sering diadakan di Jakarta, tapi di daerah sendiri tidak ada. Ia dan pengurus lainnya lantas mengadakan pameran buku untuk pertama kali di Jarbeurs (Kolongdam) pada tahun 1982-1984. Dengan konsep yang tidak komersial, stand-stand disiapkan untuk kepentingan anggota. Pameran demi pameran terus diadakan dengan berpindah-pindah tempat di antaranya di BIP, Kings, Dezon, dan akhirnya di gedung Landmark.

Memperhatikan perkembangan pameran saat ini, ia sangat menyayangkan sisi komersial pameran yang tidak memperhitungkan pengisi stand, “kok bisa ada stand tas dan sepatu masuk ke area pameran buku”, ujarnya. Ia memafhumi sisi komersial pameran, karena dari keuntungan pameran tersebut kelak akan diinvestasikan untuk pembangunan gedung baru sekretariat Ikapi. Namun, bukan berarti mengenyampingkan kualitas isi pameran. “Ini sebuah kemunduran”, lanjutnya kemudian.

Kegiatan lain yang menjadi catatan sejarah perbukuan selama ia aktif di Ikapi adalah menerbitkan buletin Kalawarta dan mengadakan “Gelar Buku Baca Santai”. Tujuan “Gelar Buku Baca Santai” yang digagasnya yakni membebaskan masyarakat umum dan masyarakat perbukuan dari segala jenis transaksi. Tak ada jual beli. Yang ada hanyalah stand gratis untuk penerbit dan penerbit membawa semua bukunya untuk dibaca gratis di tempat oleh masyarakat. Penerbit menggelar buku, masyarakat membaca santai. Begitu kira-kira gagasannya.

Gelar buku ini selalu mengambil lokasi kegiatan di taman terbuka. Acara pertama pada masa kepe-mimpinannya ini berlangsung sukses di Taman Balaikota tapi tahun-tahun berikutnya surut pengunjung ketika diselenggarakan di Taman Ganesa.

Pada pertengahan tahun 2008, acara kampanye membaca serupa di atas diselenggarakan persis menjelang Pemilihan Walikota Bandung. Saat itu masyarakat diajak untuk berburu buku gratis. Dan saat ini-lima tahun kemudian, kembali persis menjelang Pilwalkot Bandung- diselenggarakan kegiatan dalam rangka mempe-ringati Hari Buku Nasional 2013.  Semoga gagasan Dadi ‘sang pakar’,  tetap dikenang.


D. Rachman, Penulis tinggal di Bandung, bergiat di dunia literasi. Email: propublic.info@gmail.com.  

Penulis saat ini sedang membaca buku Republikanisme dan Keindonesiaan karya Robertus Robert (Penerbit Margin Kiri) dan Teosofi, Nasionalisme & Elite Modern Indonesia karya Iskandar P. Nugraha (Penerbit Komunitas Bambu).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar