Jumat, 12 Mei 2023

Mengenal Tuhan Melalui Bacaan Sastra

oleh Indra Prayana


Dalam budaya literasi, kemampuan mengembangkan dan menganyam kata-kata sehingga menjadi sebuah karya tulis atau buku masuk ke dalam kreativitas. Seliar apapun ide gagasan, ia tetap masuk dalam wilayah kreatif karena tidak ada hukum yang melarang seseorang untuk berpikiran begini atau begitu, kanan atau kiri, tekstual atau konstektual. Termasuk juga dalam mempersonifikasikan tuhan (“t”dengan huruf kecil) khususnya dalam Banyak karya sastra berupa novel, puisi atau cerpen dengan latar belakang alam ghaib, setan, tuhan, surga dan neraka yang pada umumnya menimbulkan kontroversi dan bersifat nyeleneh karena berseberangan dengan mainstream besar religiusitas.

Membuat karya sastra yang bersentuhan dengan sifat-sifat tuhan tentu tidak serta merta dapat diterjemahkan secara literal, mengingat banyaknya kaidah metafor yang tersembunyi, karena pada dasarnya sastra itu imajinasi olah pikir yang berasal dari berbagai sumber, antara fakta dan khayal.

Pada cerpen lokal legendaris “Robohnya Surau Kami”[1] misalnya, bagaimana A.A.Navis mempermainkan tuhan dengan percakapan konyolnya dalam menanggapi “unjuk rasa” pimpinan Haji Soleh yang mempersoalkan kenapa ia berserta kawan-kawannya dimasukkan ke dalam neraka padahal sewaktu hidupnya di dunia hanya diabdikan untuk menyembah tuhan. Cerpen ini sebenarnya sedang mencoba mempersoalkan realitas yang ditransferkan ke dalam alam khayal.

Atau pada cerpen “Langit Makin Mendung” karya Kipandjikusmin yang memperolok-olok perintah tuhan dan keluhan Nabi Muhammad yang ingin keluar dari surga karena sudah merasa bosan. Cerpen ini sangat agresif dan provokatif yang membuat H. B. Jassin sebagai pemimpin redaksi majalah Sastra, sempat menjadi pesakitan karena memuat cerpen itu di edisi bulan Agustus tahun 1968 (meski tidak sedikit pula yang memuji langkahnya karena konsisten dalam melindungi dan merahasiakan nara sumber/ Kipandjikusmin). 

Lain lagi dengan cerpen impor “Surat Buat Tuhan” Gregorio Lopez Fuentez yang melawan korupsi dengan satir religious. Dalam cerita tersebut, bagaimana sosok tokoh seorang petani bernama Lencho didera kemiskinan dan berharap lepas dari jerat kesusahan hidup itu dengan cara mengirim surat kepada tuhan untuk bisa membantunya. Petugas pos kebingungan mencari alamat tuhan. Dan atas inisiatif kepala posnya, surat Lencho tersebut dikembalikan sembari diisi sejumlah uang iuran pegawai pos untuk sedikit membantunya. Maka ketika Lencho membuka uang tersebut, ia bukannya bersyukur namun malah memaki-maki pegawai pos itu lantaran uang yang diminta kepada tuhan tidak sesuai dengan yang diterimanya: “tuhan tidak mungkin korupsi”, teriaknya.

Berbeda lagi dengan “Tuhan Melihat Kebenaran itu tetapi Ia menunggu”. Cerpen karya Leo Tolstoy yang menempatkan tuhan sedikit optimis sebagai penguasa takdir manusia. Diceritakan adalah Ivan Aksionov, seorang suami yang difitnah telah melakukan pembunuhan, sampai istrinya sendiri percaya bahwa suaminya itu telah melakukan pembunuhan dan dihukum selama puluhan tahun. Sampai di akhir penghujung tuanya, Ivan dibebaskan karena terbukti tidak bersalah, kebenaran muncul dan pelaku yang sebenarnya diketahui. Tolstoy seperti sedang mengapresiasi terjemahan ayat Al-Quran kedalam deskripsi alur cerita yang menawan. Boleh jadi kamu menyangka itu baik buat kamu padahal itu tidak baik untukmu dan boleh jadi kamu menyangka tidak baik padahal itu baik untukmu, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu sedangkan kamu tidak”. Mungkin benar pada awalnya kita tidak menyadari akan kesalahan kita tetapi Tuhan Maha Melihat, karena terkadang manusia tidak bisa memahami hikmah yang tersembunyi di dalam setiap penggalan hidup.

Dalam setiap cerita sosio-religiusitas seperti di atas biasanya terdapat ciri-ciri umum. Pertama, alur cerita biasanya sederhana tidak menggunakan bahasa-bahasa yang berat dan melangit sehingga dapat dicerna pembaca secara cepat. Kedua, cerita tidak bertele-tele, fokus pada maksud atau pesan yang hendak disampaikan tanpa banyak metafor pada setiap penggalan kalimat dan alur ceritanya. Ketiga, alur cerita bersifat parodi dan menggelikan untuk menertawakan diri sendiri atau lingkungan yang keluar dari pakem kebiasaan, dan yang keempat, biasanya cerita mengandung satir/sindiran terhadap kondisi keagamaan dan sosial kemasyarakatan.          

Pada karya-karya yang lain, menarik sebenarnya membaca karya-karya Al-Hallaj, Syekh Siti Jenar, Jean Paul Sartre, Divine Comedy  Dante atau mungkin Satanic Verses-nya Salman Rusdhie, sebagai bahan perbandingan sejauh mana sebenarnya manusia dapat menyentuh sesuatu yang “sakral”. Benturan nilai religius dalam kerangka fakta dan khayal ini selalu menjadi perhatian karena sulitnya kontrol serta banyaknya tafsir yang berbicara.

 

Indra Prayana, Penulis adalah pegiat buku, pernah mendirikan komunitas kajian buku dan diskusi “LESTARI” (Lembaga Studi Analisa & Informasi). Tulisan-tulisannya pernah dimuat  di antaranya di Pikiran Rakyat dan Tribun Jabar. Kini sebagai koordinator di JBA (Jaringan Buku Alternatif). Email : indrabuku@gmail.com.

Penulis saat ini sedang membaca buku Tragedi Gadis Paris van Java, karya van Dourt (Penerbit Edelwis), dan buku-buku tentang Paguyuban Pasundan.



[1] Buku klasik Robohnja Surau Kami, terbitan N.V. Nusantara Bukittinggi cetakan tahun 1961. Buku ini beberapa kali cetak ulang sampai saat ini. Sumber: kampungindian.blogspot.com

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar