Sabtu, 28 Februari 2015

The Legend of Gunung Geulis





Once lived a couple who had married for a long time but they had yet to be blessed with children. Wanting a child so bad, the husband prayed and prayed to God to bestow upon him a child.
His prayer seemed to be answered when one night he had a dream in which he was instructed to go to a place east of their village, which was a mountain, to meditate. When morning broke, he was so excited that he told his wife the dream that he had the night before. She permitted him to fulfill the instruction of the dream. He then started his journey to seek the mountain where he would meditate and pray to God.
According to the instruction of the dream, he found the mountain and began to do a forty night-and-day meditation. At the fortieth night, a very beautiful princess came to him. She was so beautiful that he fell in love and forgot his initial plan. He ended up married the princess who was actually a false appearance of a large snake that dwelt in the mountain.
Months after her husband’s leaving, the wife began to worry and went herself to look for him. She found him in the embrace of the huge snake, which surprised her and made her worried for her husband’s safety. Caring for her husband, she sought for a way to save him. She found out the way to catch the snake, which was by entrapping it. The snake was eventually trapped. It was so huge that it had to be dragged by a horse down the mountain. At a place, which now is known as Cikuda, the horse was tied to a tree.
            When the husband saw that his wife was about to kill the snake, he readily prevented her to do so, for in his eyes it was not a snake, but a beautiful princess whom he was in now in love. To her disgust, she killed both the snake and her husband, who had forgotten that she was his wife.
A week later the body of the snake and the husband disappeared. Legend has it that the body of the husband was turned into a snake which lives in the mountain. The mountain, which is located in Jatinangor, a region in Sumedang Residence, is now called Gunung Geulis (Mountain of beauty) after the snake that appeared as beautiful princess.


Dikisah ulang oleh Taufik Ampera.

Sasakala Pangandaran





Mimitina mah Pangandaran téh ngarana Bojong Kalalar. Bojong hartina tempat anu taneuhna nyodor ka tengah laut. ari kalalar hartina diliwatan ku loba jelema. Nu jadi alesan pangna éta tempat loba diliwatan téh, lantaran tanahna lendo tur loba kadaharan.
Beuki lila Bojong Kalalar beuki ramé, jul-jol ku nu daratang. Ieu tempat téh saterusna mah robah jadi tempat pikeun néangan kadaharan pikeun jalma anu datang ti luar daerah. Lila-lila  éta tempat téh robah ngaranna jadi Pangandaran, nu boga harti tempat néangan kadaharan pikeun nu daratang (andar-andar).

 
Sumber: Folklor Sunda Populer karya Reiza D. Dienaputra, dkk. Penerbit Sastra Unpad Press

Ambisi Orang Tua





Soekarno, yang sejak kecil hidup sederhana tidur di atas tikar serta sekolah yang terbatas tetapi ketika dewasa tidak membayangkan untuk bisa memerdekakan Indonesia. Begitu pun dengan Djuanda yang namanya diabadikan menjadi nama bandar udara dan jalan-jalan protokol di hampir setiap propinsi di Indonesia. Banyak orang sukses baik itu usahawan maupun pejuang yang pendidikannya tidak mentereng berlabel ‘unggul’ tetapi sukses dalam menjalani kehidupannya. Artinya, bukan sekolahnya yang unggulan tetapi prestasi siswa yang harus unggul.
  
Contoh-contoh di bawah ini merupakan orang-orang yang dikenal penulis—Dr. H. Ibin Kutibin, Sp. KJ. (psikiater) dalam bukunya “Menggapai Cita-Cita Mengendalikan Ambisi: Harapan dan Ambisi Menentukan Masa Depan”—. Beliau mengadakan observasi dan wawancara langsung dengan yang pasiennya (maaf tidak etis kalau memakai nama aslinya dan pekerjaannya, tetapi akan digambarkan secara umum saja).

  1. Seorang anak petani miskin di kampung. Orangtuanya sama sekali tidak mengetahui tentang jenjang sekolah ataupun karir, karena kedua orang tuanya hanya sekolah dasar selama 3 tahun saja. Mereka membiayai sekolah anaknya karena memaksa melanjutkan sekolah di kota yang cukup jauh. Akan tetapi karena semangat bersekolah dan berprestasi dengan nilai-nilai yang baik dari anaknya, kedua orang tuanya ikhlas menjual apapun miliknya yang laku dijual untuk biaya anaknya. Dikala kesanggupan orang tuanya habis, anaknya rela belajar sambil mencari nafkah sendiri sampai bisa menamatkan perguruan tinggi. Dia menjadi seorang profesional yang memiliki kelebihan dari kalangan profesional yang sejenis dia.
  2. Seorang tamatan SLTA anak seorang ustadz yang miskin. Kedua orang tuanya sama sekali tidak membayangkan anaknya untuk meneruskan di pendidikan tinggi. Anaknya memaksa ibunya minta diantar pergi ke kota menemui salah seorang saudara ibunya. Dia bersedia bekerja apa saja di rumah saudaranya asalkan diperbolehkan mengikuti kuliah di salah satu perguruan tinggi di kota tersebut. Karena ketekunannya dia bisa menamatkan perguruan tinggi dan bekerja jadi PNS serta bisa menduduki jabatan yang cukup baik serta memperoleh bea siswa sehingga menyelesaikan jenjang pendidikan yang paling tinggi.
  3. Seorang ibu yang kerja hariannya kuli menjahit di kampung, mengantarkan anaknya menemui salah seorang famili yang secara silsilah sudah agak jauh, untuk menitipkan anaknya yang memaksa ingin melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi, sedangkan mereka yang hanya kuli menjahit dan bordir tidak mungkin punya biaya untuk melanjutkan kuliah. Setelah lulus dengan memuaskan dari perguruan tinggi, dia bekerja di salah satu departemen dan bisa mendudukan jabatan yang cukup lumayan.
  4. Seorang siswa rela menjadi tukang bersih di sekolah dan masjid asal bisa tidur di mesjid serta diperbolehkan menjadi murid sekolah tersebut sampai tamat SMA, sedangkan pada waktu kuliah dia bersedia menjadi pembantu pada seorang yang budiman yang memberinya biaya kuliah, makan dan tempat tidur seraya mendorongnya supaya mengikuti kuliah di salah satu perguruan tinggi sampai tamat. Setelah tamat bisa bekerja sebagai pengajar dengan karir yang baik.
  5. Seorang penghuni panti asuhan. Dia dimasukkan ke panti asuhan karena keluarganya sangat miskin, kebetulan anaknya pandai, dia belajar dengan tekun sehingga bisa memperoleh bea siswa ke luar negri dan setelah tamat bisa bekerja di salah satu departemen, kejujurannya telah mengantarkannya kejenjang jabatan yang diperebutkan orang.

Apakah hal ini hanya de javu belaka karena tantangan zaman dahulu dengan zaman sekarang berbeda? Saya rasa tidak juga. Walau tidak sebanding dengan perjuangan mereka di atas, tetapi saya sendiri (sedikit curhat maaf, hehe) seorang lulusan SD kecil di kota Bandung sekitar tahun 1986, SMP Swasta yang mungkin orang Bandung kebanyakan tidak mengenal sekolah tersebut, serta SMA di Sekolah Swasta juga. Akan tetapi, alhamdulillah dari tahun 2007 hingga sekarang merasakan mengajar di Unpad dan melanjutkan studi S2 dan bertemu dengan beberapa orang sukses yang dibicarakan penulis di atas. Selain itu, mempunyai cita-cita menjadi wirausaha yang sedikit demi sedikit telah dirasakan manis dan asam-garamnya. Aamin ya Rabb. Yuk, bareng-bareng memperjuangkan apa yang kita cita-citakan.


Dani R. H.

Total Galunggung

“Galunggung sedang Bersenandung” begitulah salah satu untaian kata romantis yang dilantunkan oleh sebuah grup musik yang tenar dari kota Bandung. Irama dan liriknya begitu menyentuh hati, sehingga bagi mereka yang mengalami prahara Galunggung, lagu itu seperti menjadi penawar duka. Walaupun Galunggung meletus, tetapi ia tidak mengamuk. Ia pun tidaklah marah. Ia bersenandung dengan penuh kasih sayang, membangunkan anak Galunggung yang masih tidur, supaya bangkit dan “berjalan di atas muka bumi” untuk mencari nafkah dan kehidupan. Bukankah bagi mereka yang taat beribadat, melekat kata-kata: “Bergegaslah engkau dalam mencari rezeki,—baqirufiha tolabil rizki

Bubuka yang indah bagian pertama dari buku “Prahara Gunung Galunggung” karya pakar Gunung api yang sangat sedikit di Indonesia yang namanya seperti pesepakbola legendaris, Adjat Sudrajat. Walaupun saya awam terhadap ilmu kegunungapian atau vulkanologi, tetapi saya menjadi sedikit mengetahui hal-ihwal keilmuan tersebut. Itu disebabkan, seperti yang penulisnya sebutkan bahwa buku ini merupakan cerita fiksi ilmiah dengan latar belakang vulkanologi yang dijalin dalam perjalanan sejarah. Dengan menyelipkannya dalam cerita fiksi sahutnya juga, diharapkan materinya dapat diserap dan lebih dijiwai sehingga dapat membangkitkan minat untuk lebih jauh mendalami ilmu kegunungapian atau vulkanologi. Selain itu, peran kang Hawe Setiawan sebagai editor bahasa mampu mengalirkan penceritaan yang indah setiap bagian yang ada dalam buku tersebut.

Dari buku ini juga, saya dapat mengetahui tentang sejarah pendudukan kembali tentara Belanda terhadap negeri kita setelah lepas dari Jepang pada zaman kemerdekaan seperti yang penulis ungkapkan pada Bab Prolog, hal. 4:

“... Namun, ketentraman itu tiba-tiba terusik. Embeng menyaksikan berbagai prahara dan kekejaman saling berganti melanda penduduk Galunggung. Ketika Jepang bertekuk lutut dan Belanda berupaya menjajah kembali Indonesia, terdapat perbedaan pendapat dalam cara mengusir Belanda. Sekelompok orang tidak dapat menerima logika penjajah yang meminta mereka semua untuk pindah ke Yogyakarta. Di kalangan penduduk Galung­gung, kepindahan itu dikenal sebagai “hijrah”. Kelompok yang ada di Galunggung itu tidak mau menyerah pada kehendak Belanda. Mereka bertekad untuk meneruskan perlawanan dengan bergerilya. Embeng tidak tahu apakah penyebabnya memang sesederhana itu, atau mungkinkah ada hal lain yang lebih rumit? Entahlah, Hanya sebatas itu yang ia tahu.
Kelompok itu bertahan di dalam hutan. Mereka itulah yang ternyata kemudian menghantui penduduk Galunggung. Mereka melawan bangsanya sendiri. Sungguh aneh. Sulit bagi Embeng untuk memahaminya. Lebih sulit lagi baginya untuk membedakan siapa kawan, siapa lawan. Gemunung yang biru menghijau tempat Embeng menjalani masa remajanya yang tenteram selama ini, berubah menjadi ajang prahara. Maut mengintai setiap saat. Darah bersimbah membasahi tanah. Untuk apa? Entahlah.
Seperti ternyata nanti, setidaknya seperti yang dialami oleh Embeng, kelompok yang berada di dalam hutan itu haus darah. Mereka menabuh genderang perang! Perang dengan siapa? Em­beng tidak tahu. Yang jelas rakyat di kaki Galunggung sangat menderita. Banyak di antara mereka yang mengungsi, meninggalkan tanah kesayangannya. Tanah yang gemah ripah lohjinawi (subur makmur) yang selama ini memberinya kehidupan, terpaksa harus ditinggalkan. Mereka menyingkir dari pedesaan dan hidup terlunta-lunta di kota.
Alangkah sedih hati Embeng melihat keadaan Galunggung seperti itu. Adanya kelompok yang menghuni hutan di gunung itu, telah menciptakan mimpi buruk yang berkepanjangan. Mimpi buruk bagi Embeng, bagi Pak Guru Sabarudin, dan bagi banyak penduduk Galunggung.
Apa yang didengar Embeng, katanya semua bermula dari sikap Belanda yang akan mengambil kembali tanah bekas jajahannya. Dengan sendirinya niat itu mendapat perlawanan dari seluruh rakyat yang menjadi pemiliknya yang sah. Terjadilah peperangan yang diselingi dengan perundingan-perundingan. Di antara perundingan-perundingan itu ada yang disebut Perundingan Linggajati yang diselenggarakan di sebuah tempat peristirahatan di kaki Gunung Cireme. Kemudian perundingan itu dilanjutkan dengan perundingan di atas geladak sebuah kapal bernama “Renville”. Salah satu keputusan Renville itu adalah adanya garis pemisah yang dinamakan “garis van Mook”. De­ngan garis pemisah itu maka Pulau Jawa dibagi atas daerah pendudukan dan daerah Republik.
Sebagai akibatnya, maka semua pasukan bersenjata yang ada di daerah pendudukan, harus dipindahkan ke daerah Republik. Mereka harus menyerahkan tempat-tempat strategis yang mereka kuasai kepada penjajah Belanda. Seluruh Tatar Priangan merupakan daerah pendudukan. Dengan sendirinya juga Galunggung. Maka semua pejuang harus pindah. Itulah yang kemudian dikenal penduduk Galunggung sebagai hijrah.

Kepulauan Indonesia memiliki gunung api terbanyak di dunia, oleh karena itu sudah sewajarnya jika masyarakat memahami berbagai hal mengenai gunung api. Dengan pemahaman ini diharapkan dampak positif gunung api dapat dimanfaatkan, sedangkan dampak negatifnya dapat dihindari. Sejalan dengan hal itu, Sarwono –Kepala Penanganan Bencana Gunung Api RI—dalam tulisannya di Kompas 15 Februari 2014 berjudul Gunung Api: Antara Berkah dan Bencana menyebutkan bahwa semua gunung api itu memang membawa berkah kesuburan luar biasa. Tanpa gunung api, pulau-pulau di Nusantara hanyalah sekumpulan batu karang. Daerah dengan gunung api pasti mempunyai produk unggulan. Tanpa Sinabung yang me­letus tahun 800, misalnya, tidak ada jeruk medan yang terkenal. Tanpa Gunung Gede, kita tidak pernah bisa membanggakan beras cianjur. Sayuran bermutu banyak dari Lembang karena di situ ada Tangkuban Perahu. Juga, penduduk Galunggung dikenal sebagai pedagang dan pengrajin yang ulet. Hampir seluruh pelosok Tanah Air mengenal kemahiran niaga dan kerajinan penduduk yang berasal dari Gunung Galunggung.

Berlanjut dari hal tersebut, pengetahuan tentang fenomena geologi yang terjadi di da­lam bumi, harus digambarkan melalui fantasi. Tokoh fiksi dalam buku tersebut berkelana di dalam perut bumi untuk menyaksikan apa yang diceritakan dalam teori. Tentu semua orang mengetahui bahwa penyusun teori itu sendiri belum pernah menyelam ke dalam perut bumi dan menyaksikan apa yang ditulis dalam teorinya. Dengan gambaran yang diberikan dalam buku ini mudah-mudahan dapat ditimbulkan fantasi untuk memahami fantasi dari para pembuat teori tersebut. Penulis dalam buku ini mampu menceritakan secara apik dan mudah dicerna seputar kejadian Gunung Galunggung meletus, pada Bab 13, berikut ini.
“... Beberapa pengungsi memikul orang tua yang sudah renta dan tak mampu berjalan. Seorang nenek dengan sabar duduk di dalam tolombong yang dipikul oleh dua orang laki-laki berumur setengah baya, mendengarkan apa yang diperdebatkan oleh kedua orang yang memikulnya. Raut mukanya tampak cemas, namun ia senang juga berayun-ayun dalam tolombong itu. Alat yang terbuat dari anyaman bambu itu biasanya berfungsi sebagai wadah untuk mengangkut beras atau gabah.
Letusan kali ini bertambah besar. Hujan abu turun de­ngan deras dan berkepanjangan. Hampir seharian udara dalam keadaan remang-remang. Cahaya matahari tak mampu menembus lebatnya hujan abu. Hamparan abu hampir setinggi mata kaki. Daun kelapa merunduk, ada pula yang patah karena tidak kuat menahan beban abu. Tanaman penduduk rusak, bukan saja karena ditimpa, tetapi juga karena panasnya abu. Dedaunan semuanya layu. Pohon pisang mulai mengering.

Pengungsian bertambah sibuk, karena selain manusia sekarang ternak pun ikut diungsikan. Domba dan kambing berbaur dengan pengungsi. Ternak itu dengan mudah dapat digiring. Lain halnya dengan ayam. Mengungsikan ayam cukup sulit apa lagi jumlahnya ribuan. Di atas kolam-kolam di kaki Galunggung pada ummnya terdapat kandang ayam. Mengungsikan ikan lebih sulit lagi. Pengungsian ikan ini memerlukan cara tersendiri. Kantong plastik yang diisi air dan diberi oksigen, akhirnya dapat menyelamatkan ratusan ribu ekor ikan ...
... Banyak legenda yang berkaitan dengan banjir lahar. Pada umumnya legenda itu bercerita tentang kemampuan “supranatural” yang dapat menaklukkan lahar. Di Gunung Kelut, orang percaya bahwa dalam penglihatan orang-orang sakti, lahar se­ringkali berwujud sebagai segerombolan kerbau yang berlarian menuruni bukit. Seperti mengendalikan kerbau, maka arus la­har itu dapat dibelokkan dengan menggunakan cambuk. Lahar yang dicambuk, membelok ke tempat lain seperti layaknya gerombolan kerbau. Dengan begitu maka tempat pemukiman dapat diselamatkan. Di Gunung Kelut inilah untuk pertama kali ahli-ahli gunungapi menyebut aliran banjir panas itu sebagai lahar, sebuah kata yang diambil dari bahasa setempat. Sekarang kata lahar sudah menjadi terminologi yang dipakai di seluruh dunia.
Di Gunung Galunggung ada pula cerita semacam itu. Tetapi di sini kekuatan pengendali bukanlah berasal dari “supranatural” melainkan dari doa seorang panutan yang tak hentinya beribadah. Berkat doa yang khusyuk dari seorang panutan, banjir lahar dapat dibendung. Permohonan seorang yang taat beribadah telah didengar dan kemudian dikabulkan oleh Allah SWT. Sungguh ajaib, banjir lahar seolah menepi untuk menghindari pemu­kiman. Masjid dan pesantren seolah merupakan sebuah pulau di lautan banjir lahar. Begitulah cerita penduduk.
Pada tahun 1822, Galunggung meletus dengan dahsyatnya. Lembah sungai yang berhulu di Kawah Galunggung, hampir seluruhnya mengalami banjir lahar. Sebanyak 4.011 orang tewas. Sesudah peristiwa itu Galunggung berdiam diri dan kemudian meletus kecil pada tahun 1894. Letusan itu berlangsung singkat. Pada tahun 1918 terjadi letusan yang menghasilkan kubah lava yang disebut Gunung Jadi. Asap dan rembesan gas muncul dari beberapa lokasi di tepian Gunung Jadi, seperti di Kawah Karso, Kawah Hejo, dan Kawah Cekok. Secara keseluruhan, kegiatan Gunung Galunggung mengikuti proses yang ideal, mulai dari pembentukan, kemudian penghancuran diri dan pembentukannya kembali. Pada setiap episode letusan, siklus ini bisa terjadi. Pada letusan tahun 1982, Gunung Galunggung memperlihatkan karakter letusan yang dengan jelas mengikuti siklus.
Selama masa istirahat terjadi pembentukan gas dan uap yang memakan waktu selama 64 tahun, yaitu sejak pembentukan Gu­nung Jadi pada tahun 1918...
... Demikianlah letusan Galunggung itu telah berlangsung se­lama hampir satu tahun. Letusan pertama terjadi pada tanggal 5 April 1982 dan terakhir terjadi pada 1 Januari 1983. Secara ringkas kegiatan itu dapat dibagi dalam tiga fase, yaitu fase pertama dari tanggal 5 April sampai 3-5 Juni 1982 berupa pendobrakan, fase ke dua dari 5 Juni sampai 13 Agustus berupa letusan abu atau Vulkanian dan fase ke tiga dari 13 Agustus sampai 1 Januari 1983, berupa letusan Stromboli, yaitu letusan ritmik abu dan batu yang disertai dengan semburan bunga api. Selanjutnya abu dan batu-batu yang dilemparkan berakumulasi di lereng Galunggung dan dibawa air hujan menjadi lahar.
Demikian urut-urutan letusan Galunggung berdasarkan analisis para ahli. Rupanya menjelang subuh itu Gunung Ga­lunggung mengingatkan penduduk agar bangun dan memulai kehidupan. Galunggung bersenandung. Melihat dahsyatnya letusan dan jumlah penduduk yang padat di sekitarnya, maka sesungguhnyalah gunung itu telah bersenandung. Tak banyak korban yang jatuh dalam peristiwa yang dahsyat itu. Penduduk lereng Galunggung semuanya berhasil mengungsi.
Di bedeng-bedeng pengungsian para pengungsi itu merasa tertolong oleh bantuan yang mengalir dari banyak pihak, termasuk seseorang yang tidak diketahui namanya yang menjadi lakon dalam cerita fiksi ini. Mereka tidak tahu bahwa bantuan itu datang dari seseorang yang sedang terbaring tak berdaya. Orang itu sedang menyesali segala perbuatan yang dilakukannya ketika setiap malam ia berkelana di lereng Galunggung. Perbuat­an yang telah menyengsarakan penduduk Galunggung. Sekarang dengan harta bendanya yang berlimpah ia ingin membahagiakan penduduk yang sedang prihatin itu. Demikianlah yang dilakukan Embeng ketika mendengar penduduk Galunggung terpaksa meninggalkan kampung halaman yang dicintainya dan berjejal di bedeng-bedeng pengungsian.

Buku ini diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Galeri Padi pada 2010 dan pada cetakan kedua pada Badan Geologi pada 2013. Dengan ilustrasi berwarna yang menarik dari keempatbelas bab yang ada buku ini menjadi penawar dahaga keringnya para ilmuwan Indonesia untuk menyosialisasikan keilmuannya lewat fiksi ilmiah populer.