Yeah, membaca Kompas Suplemen Jawa Barat, tentang adanya
wacana pengubahan Plasa Nusantara, tempat saya nonton film bioskop serta tempat
di mana sepuluh hari sebelum Lebaran untuk berbelanja 20 tahun ke belakang,
menjadi perpustakaan, sangat menarik. Apa sebab? Ketika pemetaan pusat
perbelanjaan di Kota Bandung menjadi tersebar, saatnya lah pola pengolaan pusat
kota menjadi kreatif, melihat ke belakang untuk maju ke depan. Bandung adalah
salah satu kota pendidikan, kota sejarah, dan juga kota ekonomi kreatif. Disaat
hariwangnya institusi pendidikan
terutama universitas akan banyaknya lulusan yang menganggur, tibalah
saatnya—walaupun agak terlambat—untuk mengubah salah satu gedung yang dimiliki
Pemkot Bandung, Plasa Nusantara, menjadi Perpustakaan Nusantara. Ya, dengan
luasnya areal serta tempat yang strategis berhadapan dengan Taman Mesjid Agung,
Pendopo Walikota Bandung, serta di sekelilingnya pusat perbelanjaan, tidak
menutup kemungkinan kawan lama tempat nongkrong yang paling asoy kembali marak. Itu pada akhirnya
juga meningkatkan pendapatan daerah dari berbagai aspek. Lebih jauh berpikir ke
depan jika budaya baca melalui letak perpustakaan yang strategis ini
terealisasi, tidak menutup kemungkinan para pengusaha/pedagang baru bermunculan
dengan lebih beretika dan profesional, mahasiswa bisa memanfaatkan salah satu space yang ada untuk berdiskusi serta
realisasinya di era perdagangan bebas ini, masyarakat bisa membaca buku secara
nyaman. Juga, terutama bagi para guru, dosen, serta program pemerintah yang
mengobarkan semangat ini secara membumi ke masyarakat.
Tak terbantahkan, seperti dikutip oleh
Mas Putut Widjanarko, seorang alumnus Fisika ITB, dalam bukunya Elegi Gutenberg: Memposisikan Buku di Era
Cyberspace bahwa, “…, diri pribadi yang bertafakur tergusur diterpa
kemeriahan kebudayaan semua-elektronik. Akibat lain, adalah tergerusnya bahasa.
Kompleksitas, parodi, ironi, ambiguitas, kekayaan dan kelembutan bahasa
menghilang. Digantikan oleh bahasa robotik, teknis, langsung, sederhana, dan
tergesa-gesa. Bahkan, perspektif sejarah orang pun mendangkal. Itu dikarenakan
kesinambungan sejarah, dalam batas tertentu, dapat dilihat secara fisik dari
akumulasi jumlah buku di perpustakaan. Semakin banyak bukunya, semakin jauh
kita bisa tarik sejarah ke belakang. Buku, tak ubahnya, seperti penyambung ke
masa lampau. Sekali penyambung itu putus, masa lalu pun menjadi memudar. Data base dan internet, sebaliknya,
menghilangkan kepekaan terhadap kronologi, kepekaan terhadap garis waktu. (Dan hal
itu, takapa jika budaya baca bersama sama melaju kencangnya—penulis).”
Akhirnya, takaneh jika seorang pekerja
Indonesia di Tokyo Jepang, waktu libur membawa keluarganya ke perpustakaan
nasional di sana. Kenapa gerangan? Ternyata perpustakaan di sana layaknya
seperti tempat wisata. Selain tempatnya di pusat kota, pembaca bisa sesuka hati
membaca bahkan sambil duduk di lantai/kursi/karpet yang nyaman, bercengkrama
bersama keluarga. Juga, Anda mungkin terheran heran jika datang ke perpustakaan
terbesar di dunia, Library of Congres, AS. Perpustakaan ini didirikan tahun
1800, yang menyimpan 108 juta terbitan. Panjang rak perpustakaan ini sekitar
851 kilometer dan mempekerjakan 4.700 karyawan. Lalu bagaimana Bandung? Dalam
hal ini saya sangat mengapresiasi STT Telkom, karena banyak menerbitkan buku
internal bagi mahasiswa padahal institusi pendidikannya merupakan barometer
ilmu teknologi informasi di Indonesia, serta perpustakaannya yang ciamik.
Dani R. Hasanudin
Dosen Tipografi
dan Desktop Publishing
pada
Program DIII Penerbitan (Editing)
Fakultas Ilmu
Budaya Unpad
Bekerja
di Penerbit Balatin Pratama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar