oleh Indra Prayana
Dalam budaya
literasi, kemampuan mengembangkan dan menganyam kata-kata sehingga menjadi
sebuah karya tulis atau buku masuk ke dalam kreativitas. Seliar apapun ide
gagasan, ia tetap masuk dalam wilayah kreatif karena tidak ada hukum yang
melarang seseorang untuk berpikiran begini atau begitu, kanan atau kiri,
tekstual atau konstektual. Termasuk juga dalam mempersonifikasikan tuhan
(“t”dengan huruf kecil) khususnya dalam Banyak karya sastra berupa novel, puisi
atau cerpen dengan latar belakang alam ghaib, setan, tuhan, surga dan neraka
yang pada umumnya menimbulkan kontroversi dan bersifat nyeleneh karena berseberangan dengan mainstream besar religiusitas.
Membuat
karya sastra yang bersentuhan dengan sifat-sifat tuhan tentu tidak serta merta
dapat diterjemahkan secara literal, mengingat banyaknya kaidah metafor yang
tersembunyi, karena pada dasarnya sastra itu imajinasi olah pikir yang berasal
dari berbagai sumber, antara fakta dan khayal.
Pada
cerpen lokal legendaris “Robohnya Surau Kami”[1] misalnya, bagaimana
A.A.Navis mempermainkan tuhan dengan percakapan konyolnya dalam
menanggapi
“unjuk rasa” pimpinan Haji Soleh yang mempersoalkan kenapa ia berserta
kawan-kawannya dimasukkan ke dalam neraka padahal sewaktu hidupnya di dunia
hanya diabdikan untuk menyembah tuhan. Cerpen ini sebenarnya sedang mencoba
mempersoalkan realitas yang ditransferkan ke dalam alam khayal.
Atau
pada cerpen “Langit Makin Mendung” karya Kipandjikusmin yang memperolok-olok
perintah tuhan dan keluhan Nabi Muhammad yang ingin keluar dari surga karena
sudah merasa bosan. Cerpen ini sangat agresif dan provokatif yang membuat H. B.
Jassin sebagai pemimpin redaksi majalah Sastra,
sempat menjadi pesakitan karena memuat cerpen itu di edisi bulan Agustus tahun
1968 (meski tidak sedikit pula yang memuji langkahnya karena konsisten dalam
melindungi dan merahasiakan nara sumber/ Kipandjikusmin).
Lain
lagi dengan cerpen impor “Surat Buat Tuhan” Gregorio Lopez Fuentez yang melawan
korupsi dengan satir religious. Dalam cerita tersebut, bagaimana sosok tokoh seorang
petani bernama Lencho didera kemiskinan dan berharap lepas dari jerat kesusahan
hidup itu dengan cara mengirim surat kepada tuhan untuk bisa membantunya.
Petugas pos kebingungan mencari alamat tuhan. Dan atas inisiatif kepala posnya,
surat Lencho tersebut dikembalikan sembari diisi sejumlah uang iuran pegawai
pos untuk sedikit membantunya. Maka ketika Lencho membuka uang tersebut, ia
bukannya bersyukur namun malah memaki-maki pegawai pos itu lantaran uang yang
diminta kepada tuhan tidak sesuai dengan yang diterimanya: “tuhan tidak mungkin
korupsi”, teriaknya.
Berbeda
lagi dengan “Tuhan Melihat Kebenaran itu tetapi Ia menunggu”. Cerpen karya Leo
Tolstoy yang menempatkan tuhan sedikit optimis sebagai
penguasa takdir manusia. Diceritakan adalah Ivan Aksionov, seorang suami yang
difitnah telah melakukan pembunuhan, sampai istrinya
sendiri percaya bahwa suaminya itu telah melakukan pembunuhan dan dihukum
selama puluhan tahun. Sampai di
akhir penghujung tuanya, Ivan dibebaskan karena terbukti tidak bersalah,
kebenaran muncul dan pelaku yang sebenarnya diketahui. Tolstoy seperti sedang
mengapresiasi terjemahan ayat Al-Quran kedalam deskripsi alur cerita yang
menawan. “Boleh jadi
kamu menyangka itu baik buat kamu padahal itu tidak baik untukmu dan boleh jadi
kamu menyangka tidak baik padahal itu baik untukmu, Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu sedangkan kamu tidak”. Mungkin benar pada
awalnya kita tidak menyadari akan kesalahan kita tetapi Tuhan Maha Melihat,
karena terkadang manusia tidak bisa memahami hikmah yang tersembunyi di dalam
setiap penggalan hidup.
Dalam
setiap cerita sosio-religiusitas seperti di atas biasanya terdapat ciri-ciri
umum. Pertama, alur cerita biasanya sederhana tidak menggunakan bahasa-bahasa
yang berat dan melangit sehingga dapat dicerna pembaca secara cepat. Kedua,
cerita tidak bertele-tele, fokus pada maksud atau pesan yang hendak disampaikan
tanpa banyak metafor pada setiap penggalan kalimat dan alur ceritanya. Ketiga,
alur cerita bersifat parodi dan menggelikan untuk menertawakan diri sendiri
atau lingkungan yang keluar dari pakem kebiasaan, dan yang keempat, biasanya cerita mengandung satir/sindiran terhadap kondisi
keagamaan dan sosial kemasyarakatan.
Pada
karya-karya yang lain, menarik sebenarnya membaca karya-karya Al-Hallaj, Syekh
Siti Jenar, Jean Paul Sartre, Divine
Comedy Dante atau mungkin Satanic Verses-nya Salman Rusdhie,
sebagai bahan perbandingan sejauh mana sebenarnya manusia dapat menyentuh
sesuatu yang “sakral”. Benturan nilai religius dalam kerangka fakta dan khayal
ini selalu menjadi perhatian karena sulitnya kontrol serta banyaknya tafsir
yang berbicara.
Indra Prayana, Penulis adalah pegiat
buku, pernah mendirikan komunitas kajian buku dan diskusi “LESTARI” (Lembaga
Studi Analisa & Informasi). Tulisan-tulisannya pernah dimuat di antaranya di Pikiran Rakyat dan Tribun
Jabar. Kini sebagai koordinator di JBA (Jaringan Buku Alternatif). Email : indrabuku@gmail.com.
Penulis saat
ini sedang membaca buku Tragedi Gadis
Paris van Java, karya van Dourt (Penerbit Edelwis), dan buku-buku tentang
Paguyuban Pasundan.
[1] Buku klasik Robohnja Surau Kami, terbitan N.V. Nusantara Bukittinggi cetakan tahun 1961. Buku ini beberapa kali cetak ulang sampai saat ini. Sumber: kampungindian.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar