Soekarno, yang sejak kecil hidup sederhana tidur di atas
tikar serta sekolah yang terbatas tetapi ketika dewasa tidak membayangkan untuk
bisa memerdekakan Indonesia. Begitu pun dengan Djuanda yang namanya diabadikan
menjadi nama bandar udara dan jalan-jalan protokol di hampir setiap propinsi di
Indonesia. Banyak orang sukses baik itu usahawan maupun pejuang yang pendidikannya
tidak mentereng berlabel ‘unggul’ tetapi sukses dalam menjalani kehidupannya.
Artinya, bukan sekolahnya yang
unggulan tetapi prestasi siswa yang harus unggul.
Contoh-contoh
di bawah ini merupakan orang-orang yang dikenal penulis—Dr. H. Ibin Kutibin, Sp.
KJ. (psikiater) dalam bukunya “Menggapai Cita-Cita Mengendalikan Ambisi: Harapan
dan Ambisi Menentukan Masa Depan”—. Beliau mengadakan
observasi dan wawancara langsung dengan yang pasiennya (maaf
tidak etis kalau memakai nama aslinya dan pekerjaannya, tetapi akan digambarkan
secara umum saja).
- Seorang anak petani miskin di kampung. Orangtuanya sama sekali tidak mengetahui tentang jenjang sekolah ataupun karir, karena kedua orang tuanya hanya sekolah dasar selama 3 tahun saja. Mereka membiayai sekolah anaknya karena memaksa melanjutkan sekolah di kota yang cukup jauh. Akan tetapi karena semangat bersekolah dan berprestasi dengan nilai-nilai yang baik dari anaknya, kedua orang tuanya ikhlas menjual apapun miliknya yang laku dijual untuk biaya anaknya. Dikala kesanggupan orang tuanya habis, anaknya rela belajar sambil mencari nafkah sendiri sampai bisa menamatkan perguruan tinggi. Dia menjadi seorang profesional yang memiliki kelebihan dari kalangan profesional yang sejenis dia.
- Seorang tamatan SLTA anak seorang ustadz yang miskin. Kedua orang tuanya sama sekali tidak membayangkan anaknya untuk meneruskan di pendidikan tinggi. Anaknya memaksa ibunya minta diantar pergi ke kota menemui salah seorang saudara ibunya. Dia bersedia bekerja apa saja di rumah saudaranya asalkan diperbolehkan mengikuti kuliah di salah satu perguruan tinggi di kota tersebut. Karena ketekunannya dia bisa menamatkan perguruan tinggi dan bekerja jadi PNS serta bisa menduduki jabatan yang cukup baik serta memperoleh bea siswa sehingga menyelesaikan jenjang pendidikan yang paling tinggi.
- Seorang ibu yang kerja hariannya kuli menjahit di kampung, mengantarkan anaknya menemui salah seorang famili yang secara silsilah sudah agak jauh, untuk menitipkan anaknya yang memaksa ingin melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi, sedangkan mereka yang hanya kuli menjahit dan bordir tidak mungkin punya biaya untuk melanjutkan kuliah. Setelah lulus dengan memuaskan dari perguruan tinggi, dia bekerja di salah satu departemen dan bisa mendudukan jabatan yang cukup lumayan.
- Seorang siswa rela menjadi tukang bersih di sekolah dan masjid asal bisa tidur di mesjid serta diperbolehkan menjadi murid sekolah tersebut sampai tamat SMA, sedangkan pada waktu kuliah dia bersedia menjadi pembantu pada seorang yang budiman yang memberinya biaya kuliah, makan dan tempat tidur seraya mendorongnya supaya mengikuti kuliah di salah satu perguruan tinggi sampai tamat. Setelah tamat bisa bekerja sebagai pengajar dengan karir yang baik.
- Seorang penghuni panti asuhan. Dia dimasukkan ke panti asuhan karena keluarganya sangat miskin, kebetulan anaknya pandai, dia belajar dengan tekun sehingga bisa memperoleh bea siswa ke luar negri dan setelah tamat bisa bekerja di salah satu departemen, kejujurannya telah mengantarkannya kejenjang jabatan yang diperebutkan orang.
Apakah hal ini hanya de javu belaka karena tantangan zaman
dahulu dengan zaman sekarang berbeda? Saya rasa tidak juga. Walau tidak
sebanding dengan perjuangan mereka di atas, tetapi saya sendiri (sedikit curhat
maaf, hehe) seorang lulusan SD kecil di kota Bandung sekitar tahun 1986, SMP
Swasta yang mungkin orang Bandung kebanyakan tidak mengenal sekolah tersebut,
serta SMA di Sekolah Swasta juga. Akan tetapi, alhamdulillah dari tahun 2007
hingga sekarang merasakan mengajar di Unpad dan melanjutkan studi S2 dan
bertemu dengan beberapa orang sukses yang dibicarakan penulis di atas. Selain
itu, mempunyai cita-cita menjadi wirausaha yang sedikit demi sedikit telah
dirasakan manis dan asam-garamnya. Aamin ya Rabb. Yuk, bareng-bareng
memperjuangkan apa yang kita cita-citakan.
Dani R. H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar