“Galunggung
sedang Bersenandung” begitulah salah
satu untaian kata romantis yang dilantunkan oleh sebuah grup musik yang tenar
dari kota Bandung. Irama dan liriknya begitu menyentuh hati, sehingga bagi
mereka yang mengalami prahara Galunggung, lagu itu seperti menjadi penawar
duka. Walaupun Galunggung meletus, tetapi ia tidak mengamuk. Ia pun tidaklah marah. Ia bersenandung dengan penuh kasih sayang,
membangunkan anak Galunggung yang masih tidur, supaya bangkit dan “berjalan di
atas muka bumi” untuk mencari nafkah dan kehidupan. Bukankah bagi mereka yang
taat beribadat, melekat kata-kata: “Bergegaslah engkau dalam mencari rezeki,—baqirufiha
tolabil rizki”
Bubuka yang indah
bagian pertama dari buku “Prahara Gunung Galunggung” karya pakar Gunung api
yang sangat sedikit di Indonesia yang namanya seperti pesepakbola legendaris,
Adjat Sudrajat. Walaupun saya awam terhadap ilmu kegunungapian atau vulkanologi,
tetapi saya menjadi sedikit mengetahui hal-ihwal keilmuan tersebut. Itu
disebabkan, seperti yang penulisnya sebutkan bahwa buku ini merupakan cerita fiksi ilmiah dengan latar belakang
vulkanologi yang dijalin dalam perjalanan sejarah. Dengan menyelipkannya dalam
cerita fiksi sahutnya juga,
diharapkan materinya dapat diserap dan lebih dijiwai sehingga dapat
membangkitkan minat untuk lebih jauh mendalami ilmu kegunungapian atau
vulkanologi. Selain itu, peran kang Hawe Setiawan sebagai editor bahasa mampu
mengalirkan penceritaan yang indah setiap bagian yang ada dalam buku tersebut.
Dari buku ini juga, saya dapat
mengetahui tentang sejarah pendudukan kembali tentara Belanda terhadap negeri kita
setelah lepas dari Jepang pada zaman kemerdekaan seperti yang penulis ungkapkan
pada Bab Prolog, hal. 4:
“...
Namun, ketentraman itu tiba-tiba terusik.
Embeng menyaksikan berbagai prahara dan kekejaman saling berganti melanda
penduduk Galunggung. Ketika Jepang bertekuk lutut dan Belanda berupaya menjajah
kembali Indonesia, terdapat perbedaan pendapat dalam cara mengusir Belanda.
Sekelompok orang tidak dapat menerima logika penjajah yang meminta mereka semua untuk pindah ke Yogyakarta. Di kalangan
penduduk Galunggung, kepindahan itu dikenal sebagai “hijrah”. Kelompok yang
ada di Galunggung itu tidak mau menyerah pada kehendak Belanda. Mereka bertekad
untuk meneruskan perlawanan dengan bergerilya. Embeng tidak tahu apakah
penyebabnya memang sesederhana itu, atau mungkinkah ada hal lain yang lebih
rumit? Entahlah, Hanya sebatas itu yang ia tahu.
Kelompok itu bertahan di dalam hutan.
Mereka itulah yang ternyata kemudian menghantui penduduk Galunggung. Mereka
melawan bangsanya sendiri. Sungguh aneh. Sulit bagi Embeng untuk memahaminya.
Lebih sulit lagi baginya untuk membedakan siapa kawan, siapa lawan. Gemunung
yang biru menghijau tempat Embeng menjalani masa remajanya yang tenteram selama
ini, berubah menjadi ajang prahara. Maut mengintai setiap saat. Darah bersimbah
membasahi tanah. Untuk apa? Entahlah.
Seperti ternyata nanti, setidaknya seperti
yang dialami oleh Embeng, kelompok yang berada di dalam hutan itu haus darah.
Mereka menabuh genderang perang! Perang dengan siapa? Embeng tidak tahu. Yang
jelas rakyat di kaki Galunggung sangat menderita. Banyak di antara mereka yang
mengungsi, meninggalkan tanah kesayangannya. Tanah yang gemah ripah
lohjinawi (subur makmur) yang selama ini memberinya kehidupan, terpaksa harus ditinggalkan. Mereka menyingkir dari
pedesaan dan hidup terlunta-lunta di kota.
Alangkah sedih hati Embeng melihat keadaan
Galunggung seperti itu. Adanya kelompok yang menghuni hutan di gunung itu,
telah menciptakan mimpi buruk yang berkepanjangan. Mimpi buruk bagi Embeng,
bagi Pak Guru Sabarudin, dan bagi banyak penduduk Galunggung.
Apa yang didengar Embeng, katanya semua
bermula dari sikap Belanda yang akan mengambil kembali tanah bekas jajahannya.
Dengan sendirinya niat itu mendapat perlawanan dari seluruh rakyat yang menjadi
pemiliknya yang sah. Terjadilah peperangan yang diselingi dengan
perundingan-perundingan. Di antara perundingan-perundingan itu ada yang disebut
Perundingan Linggajati yang diselenggarakan di sebuah tempat peristirahatan di
kaki Gunung Cireme. Kemudian perundingan itu dilanjutkan dengan perundingan di
atas geladak sebuah kapal bernama “Renville”. Salah satu keputusan Renville itu
adalah adanya garis pemisah yang dinamakan “garis van Mook”. Dengan garis
pemisah itu maka Pulau Jawa dibagi atas daerah pendudukan dan daerah Republik.
Sebagai akibatnya, maka semua pasukan
bersenjata yang ada di daerah pendudukan, harus dipindahkan ke daerah Republik. Mereka harus menyerahkan tempat-tempat
strategis yang mereka kuasai kepada penjajah Belanda. Seluruh Tatar Priangan
merupakan daerah pendudukan. Dengan sendirinya juga Galunggung. Maka semua
pejuang harus pindah. Itulah yang kemudian dikenal penduduk Galunggung sebagai hijrah.”
Kepulauan Indonesia memiliki gunung api terbanyak di dunia, oleh karena itu sudah
sewajarnya jika masyarakat memahami berbagai hal mengenai gunung api. Dengan pemahaman ini diharapkan
dampak positif gunung api dapat dimanfaatkan, sedangkan dampak negatifnya dapat
dihindari. Sejalan dengan hal itu, Sarwono –Kepala Penanganan Bencana Gunung
Api RI—dalam tulisannya di Kompas 15
Februari 2014 berjudul Gunung Api: Antara
Berkah dan Bencana menyebutkan bahwa semua gunung api itu memang membawa berkah kesuburan
luar biasa. Tanpa gunung api, pulau-pulau di Nusantara hanyalah sekumpulan batu
karang. Daerah dengan gunung api pasti mempunyai produk unggulan. Tanpa
Sinabung yang meletus tahun 800, misalnya, tidak ada jeruk medan yang
terkenal. Tanpa Gunung Gede, kita tidak pernah bisa membanggakan
beras cianjur. Sayuran bermutu banyak dari Lembang karena di situ ada Tangkuban
Perahu. Juga, penduduk
Galunggung dikenal sebagai pedagang dan pengrajin yang ulet. Hampir seluruh
pelosok Tanah Air mengenal kemahiran niaga dan kerajinan penduduk yang berasal
dari Gunung Galunggung.
Berlanjut
dari hal tersebut, pengetahuan
tentang fenomena geologi yang terjadi di dalam bumi,
harus digambarkan melalui fantasi. Tokoh fiksi dalam buku tersebut berkelana di dalam perut bumi untuk menyaksikan apa
yang diceritakan dalam teori. Tentu semua orang mengetahui bahwa penyusun teori
itu sendiri belum pernah menyelam ke dalam perut bumi dan menyaksikan apa yang
ditulis dalam teorinya. Dengan gambaran yang diberikan dalam buku ini
mudah-mudahan dapat ditimbulkan fantasi untuk memahami fantasi dari para
pembuat teori tersebut. Penulis
dalam buku ini mampu menceritakan secara apik dan mudah dicerna seputar
kejadian Gunung Galunggung meletus, pada Bab 13, berikut ini.
“...
Beberapa pengungsi memikul orang tua yang
sudah renta dan tak mampu berjalan. Seorang nenek dengan sabar duduk di dalam tolombong yang dipikul oleh dua orang laki-laki
berumur setengah baya, mendengarkan apa yang diperdebatkan oleh kedua orang
yang memikulnya. Raut mukanya tampak cemas, namun ia senang juga berayun-ayun
dalam tolombong itu. Alat yang terbuat dari anyaman bambu itu biasanya
berfungsi sebagai wadah untuk mengangkut beras atau gabah.
Letusan kali ini bertambah besar. Hujan
abu turun dengan deras dan berkepanjangan. Hampir seharian udara dalam keadaan
remang-remang. Cahaya matahari tak mampu menembus lebatnya hujan abu. Hamparan
abu hampir setinggi mata kaki. Daun kelapa merunduk, ada pula yang patah karena
tidak kuat menahan beban abu. Tanaman penduduk rusak, bukan saja karena
ditimpa, tetapi juga karena panasnya abu. Dedaunan semuanya layu. Pohon pisang
mulai mengering.
Pengungsian bertambah sibuk, karena selain
manusia sekarang ternak pun ikut diungsikan. Domba dan kambing berbaur dengan
pengungsi. Ternak itu dengan mudah dapat digiring. Lain halnya dengan ayam.
Mengungsikan ayam cukup sulit apa lagi jumlahnya ribuan. Di atas kolam-kolam di kaki
Galunggung pada ummnya terdapat kandang ayam. Mengungsikan
ikan lebih sulit lagi. Pengungsian ikan ini memerlukan cara tersendiri. Kantong
plastik yang diisi air dan diberi oksigen, akhirnya dapat menyelamatkan ratusan
ribu ekor ikan ...
... Banyak legenda yang berkaitan dengan
banjir lahar. Pada umumnya legenda itu bercerita tentang kemampuan “supranatural”
yang dapat menaklukkan lahar. Di Gunung Kelut, orang percaya bahwa dalam
penglihatan orang-orang sakti, lahar seringkali berwujud sebagai segerombolan
kerbau yang berlarian menuruni bukit. Seperti mengendalikan kerbau, maka arus
lahar itu dapat dibelokkan dengan menggunakan cambuk. Lahar yang dicambuk,
membelok ke tempat lain seperti layaknya gerombolan kerbau. Dengan begitu maka
tempat pemukiman dapat diselamatkan. Di Gunung Kelut inilah untuk pertama kali
ahli-ahli gunungapi menyebut aliran banjir panas itu sebagai lahar, sebuah kata
yang diambil dari bahasa setempat. Sekarang kata lahar sudah menjadi terminologi
yang dipakai di seluruh dunia.
Di Gunung Galunggung ada pula cerita
semacam itu. Tetapi di sini kekuatan pengendali bukanlah berasal dari “supranatural”
melainkan dari doa seorang panutan yang tak hentinya beribadah. Berkat doa yang
khusyuk dari seorang panutan, banjir lahar dapat dibendung. Permohonan seorang
yang taat beribadah telah didengar dan kemudian dikabulkan oleh Allah SWT.
Sungguh ajaib, banjir lahar seolah menepi untuk menghindari pemukiman. Masjid
dan pesantren seolah merupakan sebuah pulau di lautan banjir lahar. Begitulah
cerita penduduk.
Pada tahun 1822, Galunggung meletus dengan
dahsyatnya. Lembah sungai yang berhulu di Kawah Galunggung, hampir seluruhnya
mengalami banjir lahar. Sebanyak 4.011 orang tewas. Sesudah peristiwa itu
Galunggung berdiam diri dan kemudian meletus kecil pada tahun 1894. Letusan itu
berlangsung singkat. Pada tahun 1918 terjadi letusan yang menghasilkan kubah
lava yang disebut Gunung Jadi. Asap dan rembesan gas muncul dari beberapa lokasi di tepian Gunung Jadi, seperti di
Kawah Karso, Kawah Hejo, dan Kawah Cekok. Secara keseluruhan, kegiatan Gunung
Galunggung mengikuti proses yang ideal, mulai dari pembentukan, kemudian
penghancuran diri dan pembentukannya kembali. Pada setiap episode letusan,
siklus ini bisa terjadi. Pada letusan tahun 1982, Gunung Galunggung
memperlihatkan karakter letusan yang dengan jelas mengikuti siklus.
Selama masa istirahat terjadi pembentukan
gas dan uap yang memakan waktu selama 64 tahun, yaitu sejak pembentukan Gunung
Jadi pada tahun 1918...
... Demikianlah letusan Galunggung itu telah
berlangsung selama hampir satu tahun. Letusan pertama terjadi pada tanggal 5
April 1982 dan terakhir terjadi pada 1 Januari 1983. Secara ringkas kegiatan
itu dapat dibagi dalam tiga fase, yaitu fase pertama dari tanggal 5 April
sampai 3-5 Juni 1982 berupa pendobrakan, fase ke dua dari 5 Juni sampai 13
Agustus berupa letusan abu atau Vulkanian dan fase ke tiga dari 13
Agustus sampai 1 Januari 1983, berupa letusan Stromboli, yaitu letusan ritmik
abu dan batu yang disertai dengan semburan bunga api. Selanjutnya abu dan
batu-batu yang dilemparkan berakumulasi di lereng Galunggung
dan dibawa air hujan menjadi lahar.
Demikian urut-urutan letusan Galunggung
berdasarkan analisis para ahli. Rupanya menjelang subuh itu Gunung Galunggung
mengingatkan penduduk agar bangun dan memulai kehidupan. Galunggung
bersenandung. Melihat dahsyatnya letusan dan jumlah penduduk yang padat di
sekitarnya, maka sesungguhnyalah gunung itu telah bersenandung. Tak banyak
korban yang jatuh dalam peristiwa yang dahsyat itu. Penduduk lereng Galunggung
semuanya berhasil mengungsi.
Di bedeng-bedeng pengungsian para
pengungsi itu merasa tertolong oleh bantuan yang mengalir dari banyak pihak,
termasuk seseorang yang tidak diketahui namanya yang menjadi lakon dalam cerita
fiksi ini. Mereka
tidak tahu bahwa bantuan itu datang dari seseorang yang sedang terbaring tak
berdaya. Orang itu sedang menyesali segala
perbuatan yang dilakukannya ketika setiap malam ia berkelana di lereng
Galunggung. Perbuatan yang telah menyengsarakan penduduk Galunggung. Sekarang
dengan harta bendanya yang berlimpah ia ingin membahagiakan penduduk yang
sedang prihatin itu. Demikianlah yang dilakukan Embeng ketika mendengar
penduduk Galunggung terpaksa meninggalkan kampung halaman yang dicintainya dan
berjejal di bedeng-bedeng pengungsian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar