oleh Adew Habtsa
Stempel
pangedulan alias bermalas-malasan
telah tertera di kepala ini. Semenjak saya duduk di bangku sekolah dasar,
sampai bereslah kuliah, memperlakukan buku hanya sekedar memenuhi tugas guru di
sekolah atau di kampus, itu pun kalau sempat, jika tidak, melihat kawan hasil
kerja kawan (baca: mencontek) adalah jalan pintas yang paling menegangkan dan
mencengangkan. Jikalau hari ini saya berkacamata tebal, itu bukan pertanda mutlak
orang yang rajin membaca buku, meski hampir para penggila buku itu berkacamata
minus, sebab kacamata adalah indikator seseorang rusak matanya lantaran banyak
faktor, sebagai misal, kurang makan vitamin A atau menonton film dan main game yang kelewat batas, seperti yang
sering saya lakukan di masa lampau.
Sudahlah, itu fragmen kanak-kanak saya, dan semua orang
remaja dan dewasa hari ini, pasti mengalami fase itu, ada yang rajin belajar
siang dan malam, ada juga anak-anak yang malas taktertolongkan lagi, hingga
kenakalanlah yang tertampakkan selalu. Bila menjenguk episode masalalu, boro-boro
memahami bagaimana manfaat sebuah buku dan pentingnya belajar yang tekun,
rayuan untuk bermain dan bermain lagi dan terus bermain-main dengan aneka
permainan, berkumpul dengan bocah-bocah satu angkatan, lebih kuat mendesak diri
ini, sampai lepaslah tekad belajar seperti yang sering diujarkan oleh guru-guru
di sekolah dan kedua orang tua beserta saudara-saudara yang hirau lainnya.
Memang saya memilliki cita-cita, itu pun ingin menjadi pemain sepak bola,
sampai-sampai jika petang datang, bergegaslah menuju lapangan sepakbola,
seadanya perlengkapan, masih berseragam sekolah, sesukanya mengisi waktu,
dengan rasakan keseruan juga keasyikan yang sulit digambarkan bersama kawan
lainnya.
Walau memang orang tua, yakni ayah saya adalah sosok
pendidik pada sebuah sekolah dasar yang tiap sepekan sekali, selalu membawa
buku, majalah dan koran, yang barangkali didapat dengan memotong gaji
bulanannya, lalu dengan agak memaksa, bahwa tiap sekolah hendaknya berlangganan
media itu, tapi ambil sisi positifnya saja, dari buku, majalah dan koran-koran
itu, saya sudah mulai melihat-melihat judul buku dan desain jilidnya yang
menarik, membolak-balikan koran, membaca cerita lucu dan juga gambar-gambar
karikatur yang terpampang di majalah itu. Lumayan. Hanya bisa sampai itu saja.
Setelah itu, bergegas lagi menuju keramaian, keceriaan permainan, kembali
bermain-bermain di lapangan itu, di sawah itu, di kolam itu, di sungai itu,
berburu capung, belalang, ikan-ikan, dan bermain bola lagi.
Masa berganti. Waktu berubah. Teman-teman pun bertambah.
Satu per satu membawa tabiat yang unik dan menarik. Lingkaran pertemanan pun
memengaruhi saya untuk mulai memahami konsep diri dalam percaturan lingkungan
masyarakat terdekat, sekampung, lebih jauh sebangsa dan senegara. Tiba-tiba
saya merasa bahwa saya harus berguna, kendati cita-cita jadi pemain sepakbola
kandas juga. Mungkin saya tidak konsisten, atau takserius untuk menapaki jalur itu, padahal dari sepakbola bisa
memperbaiki nasib diri sekaligus memperbaiki nasib bangsa di mata dunia
internasional dengan prestasi yang baik, tentu saja.
Bebas dari perkuliahan, satu komunitas menulis saya jejaki,
tiba-tiba saja saya ingin jadi Penulis, bukan karena, susahnya mencari lapangan
pekerjaan, apalagi persaingan angkatan kerja taksebanding dengan lapangan pekerjaan
itu sendiri, barangkali ada yang keliru, kita malah tercipta untuk bekerja pada
satu departemen sesuai dengan jurusan yang kita geluti, sebagai contoh, alumni
Fakultas Pertanian, harus bekerja di Departemen Pertanian, dan seterusnya.
Padahal taksemestinya selalu begitu, bukan?
Walau kadang-kadang saya juga mengirimkan surat lamaran pekerjaan pada
satu lembaga dan instansi tertentu, tapi taksemuanya berjalan mulus dan
diterima dengan baik. Beberapa jenis pekerjaan pernah dilakukan, dari Sales
Kompor Gas, Surveyor, sampai menjadi Guru sebuah sekolah swasta yang sangat
bersahaja. Asyik dan menyenangkan, melelahkan raga, namanya juga bekerja.
Entahlah mungkin saya melihat dan mendengar, kisah para
penulis yang sukses, mendapatkan keuntungan finansial yang luar biasa besarnya,
tertegun melihat mereka bisa membuat novel, cerpen dan puisi, pastinya terampil
sekali dalam mengembangkan tema yang
menarik dan sangat menginspirasi khalayak banyak. Takusah saya sebut para
penulis yang mengilhami itu, takut mereka jadi sombong dan merasa diri hebat.
Biarkan saja mengalir, apa adanya. Pilihan memasuki Komunitas kepenulisan Forum
Lingkar Pena (FLP), di kota kelahiran saya, FLP Bandung, bermarkas di Kompleks
Masjid Salman ITB, taktertahankan lagi.
Dari tempat dan
komunitas ini saya mempelajari banyak hal, terutama dari hembusan semangat para
Pengurus yang selalu mengobarkan betapa membaca menjadi langkah awal untuk
memasuki dunia kepenulisan. Mulailah buku-buku saya baca, sedikit demi sedikit,
berangur-angsur, taksekaligus, ternyata belum kuat staminanya. Mulailah beragam
bacaan dicerna, dari buku-buku kesusasteraan: cerpen, puisi, esei hingga kajian
filsafat dan keagamaan terus dibaca, perlahan-lahan, sembari terus belajar
menulis puisi dan atau yang seperti puisi. Bagaimana saya tidak akan membaca
buku, atau menghindar dari buku, yang
jelas itu bukan penyelesaian yang baik, setiap kali pertemuan, selalu ditanya
tentang buku yang sedang dan sudah dibaca, ditulis pada setiap lembaran daftar
hadir. Atau dalam pertemuan khusus, sesekali diminta para pementor untuk
menceritakan buku yang sedang baca, malu jadinya, tiba-tiba muncul rasa gengsi,
bila takmampu menceritakan isi buku itu. Dengan terkondisikan seperti ini, mau
takmau haruslah membaca, minimal satu buku besar seminggu sekali, terserah
topik bukunya seperti apa.
Komunitas FLP, khususnya yang berada di Bandung, merupakan
kumpulan orang-orang yang bersiteguh untuk belajar menulis dan nyaman untuk
beraktivitas di luar medan kepenulisan, hingga keinginan saya untuk membuat
lirik lagu pun dapat terakomodasi dengan baik. Diam-diam saya pun mencoba
memusikalisasi puisi dari beberapa penyair yang sudah tersohor karya-karyanya,
yang saya baca dari buku antologi puisi mereka, yang saya beli atau pinjam dari
kawan. Tentang proses kreatif saya dalam bermusik dan menggubah puisi menjadi
komposisi lagu, ini butuh ruang khusus. Intinya, hasrat belajar dan
keingintahuan yang meletup-letup coba dijaga, meski nanti pelan-pelan, dibuat
tenang dan menyenangkan segalanya.
Lantas ada kebutuhan lain rupa-rupanya, ingin menambah
jaringan pertemanan, butuh penghargaan dari yang lain juga atas karya tulis
sastra yang dibuat, berharap wawasan pengetahuan bertambah dengan berguru pada
sastrawan yang lebih menggelegar semangat hidupnya beserta pengalaman
estetikanya yang membanggakan, sehingga karya-karya kita pun dapat membahana,
tidak hanya dikenal di komunitas itu-itu saja. Saya dan beberapa teman satu
minat tentunya, mulai mendatangi ruang-ruang publik yang menghadirkan
diskusi-diskusi menarik, kajian-kajian pemikiran, seperti kuliah umum, terbuka
untuk siapa saja, dan pastinya mencari yang gratis, untuk sama-sama hadir,
mengikuti rangkaian acara, terutama pemaparan yang disampaikan para ahli,
berkenaaan sastra dan apapun yang melingkupinya.
Salah satu tempat publik yang kerap saya datangi adalah
Gedung Indonesia Menggugat (GIM), seperti
diketahui, asal tempat itu merupakan gedung pengadilan zaman Hindia Belanda,
satu tempat tatkala Soekarno muda beserta kawan-kawan seperjuangannya lancarkan
pledoi untuk menjelaskan bahwa kolonialisme layak digugat, karena telah
menyengsarakan semesta raya nusantara. Dari tempat itu pula saya bertemu dengan
komunitas Majelis Sastra Bandung (MSB), yang juga fokus pada pengembangan ruang
sastra, dan semangat saya untuk membaca yang kadang-kadang redup, bisa bangkit
lagi. Di dalam program MSB ada kegiatan rutin yang tentu saja mendatangkan
pembahas atau pemateri yang berkualitas, hal ini menandakan bahwa mereka adalah
pembaca yang baik, pelahap segala ilmu pengetahuan, bertutur dengan runut, wajar kalau
pemparannya sangat enak dan memuaskan.
Dan kini saya memasuki Museum Konperensi Asia Afrika (MKAA),
sang Saudagar Buku dari Bojongkaler, Deni Rachman, mengajak saya untuk
berkecimpung pada kegiatan di dalamnya. Sampai tercetuslah ide untuk membuat
sebuah klub buku, keren terdengar, keinggris-inggrisan, maklum berada di museum
berkelas internasional, Asian African Reading Club namanya, singkat saja AARC.
Bermula dari lingkaran kecil, yang hadir terhitung jari, berasal dari
pusparagam latar-belakang sosial. Ada
benarnya kata seorang sahabat, bahwa para pembaca adalah kaum minoritas, sedikit
sekali jumlah para pembaca.
Barangkali kita juga
pernah mendengar berkaitan dengan kondisi buruk daya baca satu masyarakat kita,
ditambah juga menurunnya daya beli terhadap aneka bacaan, termasuk buku, bila
dibandingkan dengan negara tetangga lainnya, masih jauh tertinggal. Apatah lagi
menanyakan jumlah buku yang diproduksi satu tahun oleh satu negara, teramat
miris. Hasrat membaca juga sudah megap-megap, apalagi nanti bila akan membidik
gairah menulis, yang kembang-kempis itu. Terkalahkan segalanya oleh animo yang
kuat untuk membeli televisi, gadget, dan media elektronika lainnya dengan
segala produk canggihnya, keluaran masa kini. Hal ini membuktikan kecenderungan
masyarakat kita yang lebih gandrung pada tontonan, termasuk saya yang acap
tergoda pada keindahan visual, akan tetapi saya terus mulai merangkak untuk tapaki buku-buku dan
sumber ilmu lainnya.
Anehnya, pada saat saya bersama-sama mereka para pecinta
ilmu, para penerang segala gelap, para penyuluh segala lusuh, saya merasa
baik-baik saja, dan merasa tersemangati untuk teras berbuat sesuatu, meski
kecil, bagi peradaban dunia yang lebih baik, tapi terkadang setelah pulang ke
habitat masing-masing, ke rumah sendiri, tiba-tiba melempem lagi semangat itu. Setidak-tidaknya dari berkomunitas itu
kita mendapat manfaat yang nyata jua efek yang bagus untuk berkarya dan kreatif
minimal bagi diri sendiri, jangan sampai terbodohi lagi, tertipu lagi atau
dikhianati bangsanya sendiri, dan kita malah merasa tenang-tenang saja, karena
belum terbuka akal pikiran tentang kenyataan faktual saat ini, lantaran masih
tumpul nalar kita untuk mengkritisi kondisi riil negeri ini, oleh sebab belum
terbiasanya kita dengan iklim intelektual, seperti para cerdik pandai itu,
untuk membaca dan selalu membaca.
Wah, saya merasa menjadi kutu buku, jika bersama mereka.
Bandung,
Februari 2013
Adew Habtsa, lahir di Bandung,bergiat
di FLP Bandung,Majelis Sastra Bandung,dan Asian African Reading Club. Pemusik juga
Penyair, beberapa puisinya termuat pada
Buku Antologi Puisi, Kapak Ibrahim: Catatan Dari Yang Ketakutan
(Pustaka Latifah 2007), Ziarah Kata (MSB,2009), Berjalan Ke Utara
(ASAS UPI,2010), Di Kamar Mandi (Komunitas Malaikat,2012), juga beberapa
puisinya termuat di media atau surat kabar lokal dan nasional, alumni FISIP UNPAD
Jatinangor.