oleh D. Rachman
Siang
itu di sela-sela waktu istirahat kantor, saya berbincang-bincang dengan salah
seorang pakar perbukuan, seperti juga yang melekat pada nama aslinya: Dadi
Pakar. Perbincangan berlangsung santai di ruang kerja editor senior Penerbit
Angkasa yang saat itu masih di bilangan Jalan Merdeka, Bandung. Kini, bangunan lamanya rata dengan tanah menjadi
apartemen mewah.
Dadi
Pakar lahir di Ciamis, 11 Mei 1939 dari pasangan guru. Hidupnya nomaden dari
Ciamis, Tasik, Jakarta, hingga Bandung. Sang ayah sempat melamar menjadi
tentara dan kemudian hari menjadi jurnalis di kantor berita Aneta (kantor
berita selain Antara). Profesi menulis sang ayah ini sedikit banyak telah
mempengaruhi Dadi kecil, terlebih ketika sang ayah berdinas di Jakarta.
Ketika itu tahun 1950-an, ia tinggal
di perumahan tentara di sekitar Lapangan Banteng dan Departemen Keuangan. Tepat
di belakang gedung itu, Dadi kecil seperti menemukan surga. Sepulang sekolah ia
rajin mampir ke sebuah toko buku milik salah satu penerbit. Dilahapnya
buku-buku anak-anak seperti Si Doel Anak
Betawi, Rujak Manis, dan Sebatang Kara yang sangat berkesan di
benaknya. Penerbit legendaris itu adalah salah satu penerbit perintis di negeri
ini yang sudah didirikan sejak tahun 1908 (menurut Ajip Rosidi dalam Eundeuk-eundeukan) dengan nama mula-mula
Comissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur
alias Komisi untuk Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat alias Balai Pustaka.
Pribumi kecil ini kerap merogoh uang jajannya yang ia sisihkan untuk membeli
buku-buku. Ia juga kerap membaca buku sastra Sunda seperti Laleur Bodas dan Karnadi
Bandar Bangkong.
Dadi semakin larut berpetualang di
dunia bacaan buku dan membaca buku-buku petualangan. “Petua-langan Indian yang
dikarang Karl May menorehkan kesan yang mendalam”, ungkap lelaki yang pernah
menjabat Ketua IKAPI Jawa Barat periode 1989-1992 ini.
“Ada lagi buku yang lain”, lanjut Dadi, “Buku karangan
Dale Carnegie, Tuan Ingin Banyak Kawan,
sangat mempengaruhi hidup saya”. Buku ini, menurut pengamatan saya sudah dicetak berulang kali oleh Penerbit Binarupa Aksara dengan judul baru
Bagaimana Mencari Kawan &
Mempengaruhi Orang Lain. Buku ini rupanya juga yang membentuk karakter
seorang Dadi Pakar yang supel bergaul, mudah dikenal, ramah, memahami perasaan
orang dengan cara menyelami, memberi perhatian, tidak suka menyuruh-nyuruh tapi
cenderung mengajak. Dalam hal kepemimpinan pun, ia lebih senang memimpin dengan
bersama-sama kerja dan memimpin secara demokrat, tidak otoriter.
Dari keluwesannya bergaul ini, salah satunya ia pernah
dipercayai menjadi humas sebuah rumah sakit di Bandung. “Saya senang punya banyak
kawan. Orang senang kepada kita karena kita senang kepada mereka”, selorohnya.
Di dunia perbukuan, ia selalu dipercaya terutama dalam
hal memegang urusan konsultasi, pendidikan dan pelatihan, serta duta Indonesia
dalam beberapa event internasional seperti “Frankfrut Bookfair” (tercatat tiga
kali dalam tahun yang berbeda), “Pesta Buku Malaysia 1990” sebagai petugas
stand Indonesia, dan “Workshop on Copyrights Trading for Book Publisher” di
Beijing (2000).
Sedangkan, dunia yang secara
profesional ditekuni mantan dosen D3 Editing
Fakultas Sastra Unpad ini adalah editor dan penerjemah. Sempat pula ia memegang
staf redaksi beberapa media cetak di antaranya Mahasiswa Indonesia yang akhirnya dibreidel karena mengkritik
Soeharto. Setelah
itu, mantan anggota tim pelatih Kwarcab Bandung ini juga
getol mencetak dan menyebarluaskan sendiri buku seri dari self-publishing miliknya, “AkuSuka”
yang rata-rata mencetak buku-buku saku Pramuka. Saat ini
bagi para pembaca yang ingin tahu kenang-kenangan dari mendiang, dapat
membuka-buka halaman websitenya di http://dadi-pakar.blogspot.com.
Tulisan pertama dan dunia
penerbitan
Masuk ke ITB jurusan elektro tahun 1965, ia memberanikan
diri untuk menulis artikel sains. Tulisannya yang pertama berjudul Cara Membuat Elektromotor, dimuat untuk
pertama kali di majalah Teruna.
Tulisan sains lainnya juga mengisi rubrik percobaan sains di majalah Kuncung, majalah anak-anak yang sempat
populer di tahun 1980-an.
Keprigelannya dalam hal menulis sains populer ini rupanya
dilirik oleh sang paman, Ojeng Soewargana yang saat itu menjabat Direktur
Penerbit Ganaco. Ia diajaknya untuk merevisi 15 judul naskah proyek pengadaan
buku sains. Kemampuannya merevisi tak lain berkat pengaruh pendidikan bahasa
J.S. Badudu semasa SMP 2 dan SMA Aloysius Bandung. Dari hasil proyek tersebut, ia mendapat upah
sekitar 850 ribu rupiah, angka yang besar di tahun 1970-an. Dari rezeki inilah
ia kemudian menikahi Ondasih Suwarsah dan membeli lahan sawah seluas 70 tumbak.
Berkiprah di IKAPI
Gagal menjadi insinyur elektro tak membuatnya patah arang. Ketika sang paman wafat dan Ganaco bubar, ia terus menekuni dunia
perbukuan, di antaranya diterima bekerja di penerbit Angkasa dan ikut terlibat
langsung mengurus para penerbit. Pilihannya di IKAPI bukanlah suatu kebetulan,
awalnya ia ditunjuk sebagai perwakilan Ganaco sejak tahun 1976. Sejak menjadi
pengurus Ikapi Jabar, ia pernah menjabat Sekretaris
II (1976-1979), Kepala Bidang
Promosi (1985-1989), Ketua II (1989-1992), dan
Ketua Ikapi (1998-2002).
Prestasinya seperti yang dituturkan
kepada saya di antaranya adalah gagasan menyelenggarakan Pa-meran Buku Ikapi
Jabar yang pertama di Bandung. Penyelenggaraan pameran di tingkat cabang ini
merupakan tindak lanjut dari pameran Ikapi yang sering diadakan di Jakarta,
tapi di daerah sendiri tidak ada. Ia dan pengurus lainnya lantas mengadakan
pameran buku untuk pertama kali di Jarbeurs
(Kolongdam) pada tahun 1982-1984. Dengan konsep yang tidak komersial,
stand-stand disiapkan untuk kepentingan anggota. Pameran demi pameran terus
diadakan dengan berpindah-pindah tempat di antaranya di BIP, Kings, Dezon, dan
akhirnya di gedung Landmark.
Memperhatikan perkembangan pameran saat ini, ia sangat
menyayangkan sisi komersial pameran yang tidak memperhitungkan pengisi stand,
“kok bisa ada stand tas dan sepatu masuk ke area pameran buku”, ujarnya. Ia
memafhumi sisi komersial pameran, karena dari keuntungan pameran tersebut kelak
akan diinvestasikan untuk pembangunan gedung baru sekretariat Ikapi. Namun,
bukan berarti mengenyampingkan kualitas isi pameran. “Ini sebuah kemunduran”,
lanjutnya kemudian.
Kegiatan lain yang menjadi catatan sejarah perbukuan
selama ia aktif di Ikapi adalah menerbitkan buletin Kalawarta dan mengadakan “Gelar Buku Baca Santai”. Tujuan “Gelar
Buku Baca Santai” yang digagasnya yakni membebaskan masyarakat umum dan
masyarakat perbukuan dari segala jenis transaksi. Tak ada jual beli. Yang ada
hanyalah stand gratis untuk penerbit dan penerbit membawa semua bukunya untuk
dibaca gratis di tempat oleh masyarakat. Penerbit menggelar buku, masyarakat
membaca santai. Begitu kira-kira gagasannya.
Gelar buku ini selalu mengambil lokasi kegiatan di taman
terbuka. Acara pertama pada masa kepe-mimpinannya ini berlangsung sukses di
Taman Balaikota tapi tahun-tahun berikutnya surut pengunjung ketika
diselenggarakan di Taman Ganesa.
Pada
pertengahan tahun 2008, acara kampanye membaca serupa di atas diselenggarakan
persis menjelang Pemilihan Walikota Bandung. Saat itu masyarakat diajak untuk
berburu buku gratis. Dan saat ini-lima tahun kemudian, kembali persis menjelang
Pilwalkot Bandung- diselenggarakan kegiatan dalam rangka mempe-ringati Hari Buku
Nasional 2013. Semoga gagasan Dadi ‘sang
pakar’, tetap dikenang.
D. Rachman, Penulis tinggal di Bandung, bergiat di dunia literasi. Email: propublic.info@gmail.com.
Penulis saat ini sedang membaca buku Republikanisme dan Keindonesiaan karya
Robertus Robert (Penerbit Margin Kiri) dan Teosofi,
Nasionalisme & Elite Modern Indonesia karya Iskandar P. Nugraha
(Penerbit Komunitas Bambu).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar